Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan berbagai permasalahan pada pengelolaan dana haji. Permasalahan ini berisiko menimbulkan korupsi di tengah animo besar umat muslim di Indonesia.
Sebagai salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah negara dengan Jemaah haji terbanyak setiap tahunnya. Animo besar ini dapat dilihat dari masa tunggu Jemaah haji Indonesia yang saat ini mencapai 46 tahun lamanya sejak proses pendaftaran pertama.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, menjelaskan tingginya animo masyarakat Indonesia harus dibarengi dengan tata kelola penyelenggaraan haji yang profesional, transparan, dan akuntabel. Hal itu menjadi penting mengingat sebelumnya, KPK pernah menangani kasus tindak pidana korupsi di sektor pengelolaan haji.
Baca juga:
- KPK Respons Kritik Menko Luhut Terkait OTT Koruptor
- Fungsi Rechterlijk Proces Pegawai KPK dan Konstitualitas Alih Status
- KPK Peringatkan Bakal Calon Legislatif 2024 Jauhi Korupsi
Berdasarkan kajian Direktorat Monitoring KPK bertajuk “Pengelolaan Keuangan Haji” tahun 2019, terpotret beberapa pos titik rawan korupsi pada penyelenggaraan haji di Indonesia. Salah satu contohnya, markup biaya akomodasi, penginapan, biaya konsumsi, dan biaya pengawasan haji.
“Faktanya menunjukkan ada perbedaan harga mulai dari biaya inap, itu cukup tinggi, termasuk biaya makan dan biaya pengawasan haji. (Berpotensi) timbul kerugian negara Rp160 miliar waktu itu,” kata Firli dalam audiensi bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Jakarta, Kamis (5/1).
Selain itu, KPK juga menemukan permasalahan yakni penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak sesuai ketentuan dan berpotensi menggerus dana pokok setoran Jemaah. Sebagai contoh, pada tahun 2022, BPIH per satu orang Jemaah ialah Rp39 juta dari biaya riil seharusnya Rp98 juta per satu orang.