Merjer Hanya untuk Kamuflase
Berita

Merjer Hanya untuk Kamuflase

Jakarta, hukumonline. Dengan merjer, mestinya skala usaha bisa makin melejit. Namun, merjer di Indonesia lebih banyak hanya untuk kamuflase atau akal bulus pengusaha.

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit

Yang banyak konglomerasi

Karseno  juga menyoroti bahwa kasus merjer di Indonesia tidak cukup banyak, yang banyak hanya konglomerasi. "Untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia, buat apa mereka melakukan merjer, orang konglomerasi nggak dilarang. Dari pada mereka merjer, lebih baik mereka bikin anak perusahaan sebanyak-banyaknya," cetusnya.

Ia memberikan contoh, Grup Bakrie yang memiliki 50 anak perusahaan, kemudian Pertamina yang punya lebih dari 60 anak perusahaan. "Kalau di luar negeri yang namanya konglomerasi itu dilarang, maknaya mereka merjer," jelas Karseno.

Gelombang merjer di luar negeri selalu terjadi karena dihadapkan pada situasi dimana fixed cost sudah berat dan perusahaan telah melewati puncak pertumbuhannya. Karseno mengambil contoh merjer yang terjadi pada industri pesawat terbang di Amerika.

Menurut Karseno, merjer industri pesawat di AS telah mencapai titik jenuh karena mereka sudah tidak bisa mengembangkan lagi usahanya. "Setelah sebagian merjer, sebagian lagi tutup, maka praktis sekarang tinggal Boeing saja yang masih hidup sekaligus menjadi saingan bagi Airbus di Eropa," papar Karseno.

Menanggapi banyaknya gelombang merjer perbankan di Indonesia, Karseno berkomentar bahwa merjer di perbankan bukanlah merger dalam arti sesungguhnya. "Merger di perbankan 'kan atas perintah pemerintah. Mereka sendiri sebenarnya nggak mau, tapi dipaksa.

Karseno berpendapat, motif merjer di perbankan memang berbeda. Pasalnya, merjer bank-bank dilakukan dengan dalih untuk menghindari dampak sosial kalau bank-bank tadi ditutup. "Padahal seharusnya dari dulu bank-bank yang tidak sehat tadi harus ditutup, bukannya malah dimerjer," katanya.

 

 

 

Tags: