MK Gelar Sidang PUU Praktik Kedokteran
Berita

MK Gelar Sidang PUU Praktik Kedokteran

Pemohon diminta menguraikan kerugian konstitusionalnya.

ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Tuntutan sekelompok dokter yang mengatasnamakan Dokter Indonesia Bersatu (DIB) agar  diadakan pembatasan definisi tindak pidana kedokteran dalam Pasal 66 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mulai disidangkan di MK. DIB memandang luasnya objek tindak pidana dalam pasal tersebut secara tidak langsung memberikan ancaman ketakutan terhadap dokter saat memberikan pelayanan kesehatan.     

Sidang perdana dipimpin langsung Ketua MK Hamdan Zoelva. Kuasa hukum DIB, Lutfhie Hakim menyatakan permohonan ini menitikberatkan pada penafsiran tindak pidana dalam Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran yang masih memberikan penafsiran luas. Soalnya, berlakunya norma tersebut, seluruh tindakan dokter berpotensi dikategorikan tindak pidana dan dapat dibawa ke ranah hukum.

“Seharusnya yang dimaksudkan frasa ‘tindak pidana’ dalam pasal itu hanya tindakan dokter yang mengandung unsur kelalaian nyata dan kesengajaan. Diluar itu tidak tepat jika dijadikan sebagai pidana,” kata Luthfie dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Rabu (5/3).

Selengkapnya, Pasal 66 ayat (3) menyebutkan “Pengaduan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.”

Karena itu, empat orang dokter yakni  Eva Sridiana, Agung Sapta Adi, Yadi Permana, dan Irwan Kreshnanamurti yang tergabung dalam DIB selaku pemohon meminta MK memberikan penafsiran terhadap Pasal 66 ayat (3) itu. “Tindakan kedokteran yang bisa dibawa dalam ranah hukum hanya tindakan yang mengandung kesengajaan (dolus) atau kelalaian berat (culpa lata),” pintanya.

Juru Bicara DIB, Agung Sapta Adi menegaskan jika ketentuan tindak pidana kedokteran itu tidak pernah dibatasi sangat potensial menjerat tindakan para dokter dapat diproses pidana. Padahal, tidak semua tindakan dokter bisa langsung dibawa dalam proses pidana. “Saya memang belum pernah terlibat kasus, tetapi potensi ke depan pasti ada. Kita belajar dari kasusnya dokter Ayu dkk yang dipidana 10 bulan, meski pada akhirnya dibebaskan di tingkat kasasi,” ungkapnya di persidangan.

Menurut dia, dokter memiliki tindakan prosedural medis tersendiri, sehingga mesti ada pembedaan yang tegas, mana kasus yang bisa dibawa ke ranah hukum pidana dan tidak. Dia berharap, nantinya dengan adanya putusan MK, jika dikabulkan penafsiran ini akan menjadi pegangan bagi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), sehingga MKDKI bisa menentukan suatu tindakan masuk tindak pidana atau tidak.

Dia mengingatkan, sesuai UU Praktik Kedokteran, seorang dokter dapat diadukan, diadili dan diputus bersalah oleh MKDKI terkait dugaan pelanggaran etik dan disiplin kedokteran dan kedokteran gigi sesuai Perkonsil No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

“Sanksinya tidak ringan, bisa pencabutan surat izin praktik atau surat tanda registrasi baik untuk sementara atau selamanya. Agar tidak terjadi duplikasi persidangan lebih baik seorang dokter yang diduga melakukan tindak pidana terlebih dulu diperiksa MKDKI,” imbuhnya.

Karenanya, dia meminta Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran harus dimaknai dugaan tindak pidana hanya berlaku pada dua kondisi yakni tindakan kedokteran yang mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian berat yang telah dinyatakan terbukti dalam sidang MKDKI sebelumnya.

“Kita minta tafsir MK, bukan juga membuat dokter tidak bisa bisa dipidana, tetap bisa. Hanya saja harus ada dasar yang jelas untuk bisa mempidanakan dokter. Jadi kami harapkan UU Praktik Kedokteran bisa memberikan hukum yang proporsional (adil).”

Menanggapi permohonan, Majelis Panel menilai kerugian konstitusional yang dipaparkan belum mengurai secara detail atas berlakunya Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran. Karenanya, Majelis menyarankan pemohon untuk mengelaborasi lebih jauh potensial kerugian yang ditimbulkan.

“Ini kan berhubungan dengan kerugian konstitusional, jadi harus dikaitkan apa yang menjadi kerugiannya para pemohon,” kata anggota panel Patrialis Akbar.
Tags:

Berita Terkait