MK Tolak Pengujian UU Otsus Papua
Berita

MK Tolak Pengujian UU Otsus Papua

Permohonan dinilai tidak beralasan menurut hukum.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Pupus harapan Paulus Agustinus Kafiar yang hendak mencalonkan diri sebagai gubernur Papua seiring ditolaknya pengujian Pasal 12 huruf c UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus Papua). MK menyatakan ketentuan yang mengatur syarat pencalonan kepala daerah Papua berpendidikan mnimal sarjana ini tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 33/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Rabu (23/7).

Sebelumnya, aktivis partai Paulus Agustinus Kafiar melalui kuasa hukumnya, Habel Rumbiak mempersoalkan Pasal 12 huruf c UU Otsus Papua itu. Paulus sebagai warga asli Papua menganggap pasal itu bersifat diskriminatif dan tidak adil karena menghambat hak politik seseorang untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur. 

Menurutnya, kekhususan Papua dalam hal persyaratan mengajukan diri sebagai calon gubernur atau wakil Gubernur Papua hanya berkaitan dengan keaslian orang Papua, bukan syarat minimal pendidikan. Sehingga, sangat tidak tepat jika pendidikan sarjana menjadi syarat pencalonan gubernur dan wakil gubernur Papua. Hal ini bertentangan dengan putusan MK No. 81/PUU-VIII/2010. 

Pemohon juga mendalilkan pemilihan gubernur Papua merupakan bagian dari pemilihan umum. Sehingga, harus tunduk pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang didalamnya juga mengatur syarat-syarat calon gubernur dan wakil gubernur. Karena itu, Pasal 12 huruf c UU Otsus Papua harus dibatalkan. 

Mahkamah menyatakan pengisian jabatan kepala daerah di provinsi Papua tidak dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya Provinsi Papua sebagai daerah otonomi khusus. Percepatan pembangunan Papua membutuhkan pemikiran yang mendasar, komprehensif dan berdimensi jauh ke depan.

Kompleksitas persoalan pembangunan Papua dibutuhkan kepala daerah yang memiliki wawasan yang luas, memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni agar mampu berpikir dan bertindak secara holistic untuk membangun, mensejahterakan, dan memperkokoh ketahanan Papua dalam konteks NKRI.

“Terpenuhinya syarat pendidikan (yang baik) ini justru akan meneguhkan kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah atau wakil kepala daerah sebagai sosok yang telah teruji secara akademik melalui jenjang pendidikan tinggi sebelum terjun ke tengah-tengah masyarakat,” ujar Hakim Kontitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan putusan.  

Menuurut Mahkamah syarat minimal berpendidikan sarjana berlaku sama bagi semua warga Papua yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Tidak ada pembedaan antara satu dengan lainnya. pengaturan syarat pendidikan minimal dalam UU Otsus Papua tidak dapat diperlakukan secara sama dengan pengaturan yang terdapat dalam UU lain.

Perbedaan ini, lanjut Alim, bukan pengaturan yang bersifat diskriminatif karena masing-masing daerah memiliki keragaman dan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pengaturan berbeda ini merupakan pilihan kebijakan hukum berdasarkan kebutuhan khusus masing-masing daerah. Dalam hal ini, untuk percepatan pembangunan Papua dalam menghadapi era global yang sangat kompetitif.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan itu, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.” 
Tags:

Berita Terkait