Motif di Balik Sengketa Hasil Pilkada
Kolom

Motif di Balik Sengketa Hasil Pilkada

​​​​​​​Memilih rute jalan penyelesaian sengketa via MK jauh lebih cerdas ketimbang menumpahkannya dalam unjuk rasa kasar.

Bacaan 5 Menit

Pertama, orang yang punya idealisme tinggi, yaitu kontestan yang merasa mengalami ketidakadilan selama keikutsertaannya dalam kompetisi pilkada. Betapa mendalam duka dan derita yang dilahirkan oleh ketidakadilan yang dialami, itu merupakan publisitas utamanya. Maka, pembuktian untuk menemukan penimbul ketidakadilan menjadi orientasi yang paling dikedepankan.

Kedua, kontestan yang tak siap dan ‘menolak’ kalah. Di atas ring, ia merasa memenangi persaingan dari segi apapun, sehingga fakta kekalahan sebegitu melukai dan sulit diterima olehnya secara legowo. Teringat Horatio, penyair Romawi yang menulis: “Carilah uang, dengan cara yang halal kalau bisa. Kalau tidak, dengan cara apa saja, pokoknya uang!” Carilah kemenangan, pokoknya menang! Mudah-mudahan mentalnya disiapkan dari sekarang untuk menerima putusan MK kelak, apapun amarnya.

Ketiga, kontestan pilkada yang ingin kalah lebih ‘terhormat’ hingga titik penghabisan. Kendati hampa dan minus dari peluang menang, kalah di forum bermartabat di MK mampu menjaga paslon untuk pulang ke daerah dengan kepala tetap tegak. Keempat, orang tak serius dan sekedar ‘coba-coba’. Ini diisi oleh kontestan yang sekedar mau mengadu peruntungan di ibukota, tanpa pusing-pusing dengan harapan. Pokoknya ajukan saja dulu ke MK. Ketika diujung nanti tetap kalah ya sudah, toh itu fakta yang disadari sejak semula.

Kelima, kontestan pilkada  yang sedang membuat ‘gertakan’  demi meninggikan nilai tawar politik di mata rivalnya untuk ikut menangguk benefit politik meski tercecer dalam hal perolehan suara. Usai hasil pilkada diumumkan, cepat-cepat mengajukan perkara ke MK dengan maksud menggentarkan lawan. Boleh jadi gertakan itu sukses. Setelah permohonan diajukan, akan muncul deal-deal mutualistik baru dengan paslon peraih suara terbanyak. Misalnya dengan syarat: perkara di MK harus dicabut. Who knows? Keenam, orang beperkara di MK lebih karena sorak sorai, dan tekanan para pendukung. Beperkara ke MK bukan diniati murni dari diri. Melainkan semata untuk memuaskan pendukung agar dukungan tak menguap. Jadilah namanya tercatat sebagai penempuh rute gerilya ke MK.

Seluruh motif itulah yang memformulasi komposisi 132 perkara di MK. Bahkan, seiring dinamika persidangan yang tengah berjalan, bukan tidak mungkin akan muncul atau dijumpai lagi varian lain. Namun yang pasti, terhadap takaran motif-motif di atas, ada dua catatan penting sebagai akhiran.

Pertama, memilih rute jalan penyelesaian sengketa via MK jauh lebih cerdas ketimbang menumpahkannya dalam unjuk rasa kasar di jalan-jalan protokol provinsi atau kota/kabupaten. Benar kata penyair Goethe, “Tak ada yang lebih menakutkan daripada kebodohan yang sedang beraksi”. Di MK, sengketa diselesaikan secara lebih terbuka dan bermartabat, tanpa kekerasan, (ahimsa, non-violent) untuk mereduksi duka dan lara imbas kontestasi pilkada.

Kedua, apapun dalil dan motifnya, biarlah semua  menjalani proses dan garis tangannya di sidang-sidang MK. Yakinilah, hukum niscaya tidak akan mengizinkan apa yang dilarang oleh kehormatan. Selamat melanjutkan perjuangan! Kepada semua pihak, mari ikut merawat kultur untuk selalu menghormati proses peradilan. Caranya? Tak perlu berisik di ruang publik, bermain-main dengan asumsi meremehkan atau berkesimpulan mendahului proses yang sedang berjalan di MK. Jangan!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait