Mulai Kuliah Luring, Begini Plus-Minus Kuliah Daring Menurut Akademisi
Utama

Mulai Kuliah Luring, Begini Plus-Minus Kuliah Daring Menurut Akademisi

Meski penggunaan teknologi dapat menyatukan civitas akademika terlepas dari jarak yang ada, akan tetapi tidak dapat dipungkiri mekanisme kuliah online menjadi kesulitan tersendiri bagi dosen untuk melihat tingkat pemahaman mahasiswa hukum terhadap materi yang diberikan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

“Jadi luring itu tidak tergantikan karena kita manusia butuh pengalaman empiris langsung,” pandangnya.

Terpisah, Ridha Aditya Nugraha selaku Akademisi Program Studi S-1 Hukum Bisnis Internasional Universitas Prasetiya Mulya turut mengamini adanya plus-minus penyelenggaraan kuliah daring. Bila melihat sisi positifnya, penggunaan media teknologi semacam video conference untuk perkuliahan dinilai sebagai terobosan bagi dunia pendidikan. Untuk memaksimalkannya, tentu diperlukan kreativitas dan network program studi atau individu dosen.

Online itu memudahkan atau efektif bagi mahasiswa yang ingin membuka wawasan lebih luas dalam hal internasional. Satu semester itu kan 16 kali perkuliahan, duanya itu satu UTS dan satu UAS, jadi sisa 14 ya. Dari sisa 14 itu, dua atau tiga slot selalu saya gunakan untuk mengundang dosen tamu. Begitu pula rencana atau kegiatan yang mengundang praktisi,” terang Ridha ketika dihubungi Hukumonline melalui sambungan telepon, Jumat (16/9).

Selama seorang dosen dapat membawakan kelas secara kondusif dengan komunikasi yang baik serta disiplin, maka dalam pengimplementasian kesempatan dihadirkannya dosen tamu atau praktisi justru dapat menghidupkan banyak diskusi di kelas. Pernah dalam kelas mata kuliah Hukum Udara dan Antariksa yang diajar olehnya menghadirkan praktisi asal Eropa di bidang aerospace and defense.

Di samping itu, guna menjaga komunikasi antara dosen dengan mahasiswa, ia memberlakukan peraturan wajib on cam (menyalakan kamera) bagi mahasiswanya terkecuali memiliki alasan tertentu. Adapun terdapat segmen khusus dalam kelas daring bagi mahasiswa untuk ‘diharuskan’ mengutarakan pendapatnya. Meski demikian, tetap tidak dapat ditampik oleh Akademisi Universitas Prasetiya Mulya ini terkait sisi negatif dari kuliah online.

“Bagi saya profesi dosen itu setelah dipikir-pikir berat karena tanggung jawab kita ini tidak sekadar di kelas. Bagaimana kalau kita salah mengajarkan? Kemudian mahasiswa mengimplementasikannya salah sehingga menjadi sesuatu yang buruk atau jahat bagi orang lain? Itu kan juga tanggung jawab kita sampai akhir. Hal itu bisa terjadi bermula dari miskomunikasi atau ketidakpahaman. Kalau offline itu kan bisa terlihat gelagatnya, ngerti atau tidak. Tapi kalau online, kita tidak tahu,” ujarnya.

Padahal, melalui pembelajaran di kelas luring dapat memudahkan dosen menilai mahasiswa mana saja yang perlu diberikan perhatian khusus. Seperti menempatkannya menjadi lebih banyak menjawab pertanyaan atau menyediakan waktu dialog informal secara personal dengan mahasiswa seusai kelas sekitar 10-15 menit. Hal tersebut tidak berjalan pada kelas daring.

Ridha sendiri lebih senang menyelenggarakan perkuliahan (terutama untuk mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa) secara tatap muka. Tetapi, ia tetap memiliki keinginan untuk membuka peluang mahasiswa bertemu dengan praktisi atau ahli hukum yang bisa saja berasal dari luar kota bahkan luar negeri agar dapat dihadirkan secara online.

“Kuliah online itu dapat dipertahankan dalam taraf tertentu. Di antaranya ketika bicara soal dosen tamu, kita bisa meminta waktunya barang satu jam untuk bicara di hadapan mahasiswa. Kadang kita tidak pernah tahu sejauh mana impact-nya untuk menginspirasi mahasiswa. Anggap dari 100, ada 7 yang terinspirasi dan menjadi ahli atau praktisi hukum yang baik. Itu kan suatu kemajuan bagi sumber daya hukum di Indonesia,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait