Officium Nobille atau Duite?
Resensi

Officium Nobille atau Duite?

UU Advokat dan RPP pemberian bantuan hukum cuma-cuma justru menempatkan peran organisasi advokat sebagai administratif belaka.

ISA
Bacaan 2 Menit

Mungkin ini bisa juga menjelaskan tendensi advokat seperti tidak terlalu ngotot menuntut negara yang bertanggung jawab menjamin akses pada bantuan hukum. Mereka malah terkesan mengambil alih tanggung jawab itu dengan alasan yang romantis tadi. Malah, saya cukup yakin di Indonesia isu bantuan hukum mencuat justru sebagai sarana perjuangan politik sejak awal 1970-an.  Sebelumnya bantuan hukum sudah diberikan tanpa keriuhan, lebih banyak karena tanggungjawab profesi para advokat yang notabene mengisi jajaran elit saat itu. Saluran politik kala itu masih relatif terbuka (juga mungkin karena masih rendahnya komersialisasi profesi advokat).

Nah, sejak awal 70an, yang juga menandai didirikannya LBH, bantuan hukum berevolusi menjadi bantuan hukum struktural dan menjadi sarana perjuangan politik yang sangat rasional karena seluruh saluran lainnya mulai ditutup rapat-rapat. Karena itu juga saat ini, saat saluran dan arena politik terbuka luas, isu bantuan hukum kembali masuk dalam realm tangungjawab profesi dan LBH pun mulai mempertimbangkan lagi bantuan hukum bagi individu.

Masih soal romantisme advokat, UU Advokat dan RPP pemberian bantuan hukum cuma-cuma sama sekali tidak menyentuh alih-alih menegaskan bahwa bantuan hukum adalah kewajiban negara. Keduanya justru membebankan kewajiban pada advokat secara individual. Peran organisasi advokat juga administratif belaka, dengan dukungan organisasi advokat.

Mari kita telisik pelaksanaan sementara satu organisasi advokat. Setiap advokat, tidak peduli dan tanpa pandang bulu seberapa lama mereka telah berpraktek wajib memberikan bantuan hukum hanya dicantumkan jargon mereka‘harus profesional'. Walau terdengar egaliter, aturan ini justru sama sekali tidak adil untuk si klien, maupun advokat muda. Masing-masing klien dan kasusnya punya kebutuhan tersendiri, ada yang lebih mudah atau sebaliknya lebih rumit. Pengalaman tentunya berpengaruh besar dalam menjamin [representation] yang layak.

Kedua aturan di atas, yang penjelasannya dihiasi pidato seperti pengabdian advokat, prinsip persamaan di hadapan hukum, menyiratkan advokatlah yang bekerja gratis dan bahkan menanggung semua biaya yang timbul. Apa ini adil bagi advokat muda yang mungkin untuk membiayai pendidikan hukumnya saja harus jual tanah orang tua. Belum lagi yang bekerja dalam firma hukum; ingat hubungan kerja mereka tidak sebebas advokat yang berpraktik sendiri.

Yang paling menyedihkan adalah ketentuan yang memungkinkan pembagian keuntungan jika sang klien yang sebelumnya tak mampu, (tiba-tiba) menjadi mampu karena dimenangkan perkaranya. Ini keterlaluan karena melepaskan sama sekali kewajiban negara. Dan bahkan, yang terpenting mengembalikan masalah bantuan hukum pada soal idealisme romantis versus kocek semata!

Apa sebetulnya hubungan ocehan saya di atas dengan konteks edisi khusus ini, yaitu hari kemerdekaan ke 59? Buat saya, tidak banyak manfaatnya hanya merayakan saat bangsa kita bebas dari kungkungan penjajah. Saya baru dapat kabar sekelompok kaum marjinal di Sulawesi Tenggara ditahan polisi karena mendemo penggusuran mereka untuk kepentingan sebuah BUMN. Dan mereka dijerat UU Terorisme. Hanya bantuan hukum yang mungkin mendudukkan perkara ini pada tempatnya. Karenanya, buat saya konteks hari kemerdekaan saat ini adalah merdeka dari ketidak adilan di negara sendiri.

Jujurnya, konteks lainnya sebenarnya lebih pragmatis dan agak selfish. Hukumonline ingin berlibur, dan libur panjang ini waktu yang tepat. Edisi khusus ini kami harap bisa jadi obat kangen sementara kami menikmati hangatnya laut dan matahari Ujung Kulon. Salam.

Tags: