Orang Hukum di Balik Sumpah Pemuda
Berita

Orang Hukum di Balik Sumpah Pemuda

Ketika menulis rumusan Sumpah Pemuda, Yamin masih berstatus mahasiswa hukum tingkat pertama.

Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Soegondo membaca sejenak, lalu memandang Yamin yang langsung membalas dengan senyuman. Soegondo membubuhkan paraf "Setuju". Selanjutnya Soegondo meneruskan rumusan itu kepada Amir Sjarifuddin yang memandang Soegondo dengan mata bertanya-tanya. Soegondo mengangguk-angguk. Amir pun memberikan paraf "Setuju". Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.

 

Sumpah Pemuda:

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

 

Seperti halnya Yamin, Sunario juga seorang sarjana hukum. Hanya saja, ketika Kongres Pemuda II, Sunario sudah bergelar Meester in de Rechten setelah kuliah di Universitas Leiden, Belanda. Semasa di Belanda, Sunario aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia bersama Mohammad Hatta. Sunario sempat menjalani profesi sebagai pengacara, membela para aktivis pergerakan yang berurusan hukum dengan aparat Hindia Belanda.

 

Di birokrasi, Sunario sempat menjabat beberapa pos kementerian diantaranya Menteri Perdagangan (1953-1955) dan Menteri Luar Negeri (1957-1959). Dalam Kongres Pemuda II, peran Sunario memang tercatat hanya menyampaikan pidato berjudul “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”. Peran signifikan Sunario justru muncul 40 tahun setelah Sumpah Pemuda diikrarkan.

 

Dia, didukung sejumlah pelaku sejarah Sumpah Pemuda lainnya, mendesak Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin agar menjadikan gedung di jalan Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang menjadi Gedung Sumpah Pemuda. Upaya Sunario dkk berhasil, 20 Mei 1973, Gedung Sumpah Pemuda diresmikan Ali Sadikin, lalu diresmikan ulang setahun kemudian oleh (alm) Presiden Soeharto. Awalnya, Sunario dkk juga mengusulkan agar nama jalan Kramat Raya diganti menjadi jalan Sumpah Pemuda, tetapi tidak berhasil disetujui. Sebagaimana diketahui gedung di jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda.

 

Terakhir, Amir Sjarifoeddin Harahap juga sekolah hukum di Batavia (Jakarta), sebelumnya sekolah di Leiden, Belanda tetapi tidak selesai. Dalam Kongres Pemuda II, Amir hadir sebagai Jong Bataks Bond. Ketika itu, Amir baru berusia 21 yang berarti panitia termuda diantara Yamin, Soegondo, dan Sunario.

 

Setelah era 1928, Perjalanan karier politik Amir bisa dibilang cukup tragis dibandingkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda lainnya. Walaupun sempat menjabat Perdana Menteri (1947-1948), Menteri Pertahanan (1945-1948), dan Menteri Komunikasi dan Informatika, hidup Amir diakhiri oleh timah panas senapan Pasukan Siliwangi yang dikirim Mohammad Hatta untuk menumpas jaringan Amir yang dicap sebagai pemberontakan. Sejarah juga mencatat, Amir dituding terlibat Pemberontakan PKI di Madiun dimulai 18 September 1948.

Tags: