Pakar Hukum Lingkungan Usulkan Moratorium Pertambangan
Aktual

Pakar Hukum Lingkungan Usulkan Moratorium Pertambangan

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Lingkungan Usulkan Moratorium Pertambangan
Hukumonline
Pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr Suparto Wijoyo SH MHum mengusulkan moratorium pertambangan untuk mengatasi konflik seperti kasus Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur (26/9).

"UU Pemerintah Daerah yang baru telah mengamanatkan pertambangan yang semula diurus pemerintah pusat dikembalikan ke pemerintah daerah sejak 1 Januari 2015," katanya di Surabaya, Sabtu (3/10).

Menurut dosen Fakultas Hukum Unair Surabaya itu, kasus Salim Kancil dan UU Pemda yang baru itu merupakan momentum untuk menata masalah pertambangan, karena perlu adanya moratorium pertambangan untuk melakukan penataan itu.

"Saya sudah usulkan soal itu kepada Pemprov Jatim, karena BLH (Badan Lingkungan Hidup) Jatim bersama Perhutani saat ini melakukan pemetaan masalah dan potensi pertambangan di Jatim serta pemetaan untuk penataannya," katanya.

Bahkan, BLH Jatim dan Perhutani menjadikan kasus Lumajang sebagai momentum untuk itu, karena itu mereka melakukan survei pertambangan ke Lumajang dan seterusnya hingga seluruh Jatim. Tim BLH Jatim dan Perhutani sudah ada di Lumajang.

"Untuk penataan, saya juga sudah usulkan bahwa pertambangan itu tidak boleh mati tapi pertambangan itu perlu berkelanjutan. Caranya, perlu perizinan terpadu, deposit fee, kuota dan zonasi kawasan tambang, dan sebagainya, karena itu moratorium dulu-lah," katanya.

Peneliti yang sudah menulis belasan buku tentang lingkungan dan hukum lingkungan itu mengaku deposit fee dan zonasi/kuota pertambangan itu penting agar kawasan pertambangan itu terbagi dua yakni kawasan tambang dan kawasan reklamasi, lalu dana reklamasi itu dari "deposit fee" itu.

"Selama ini, negara 'mengantuk' hingga dimana-mana terjadi kekeringan, (konflik) pertambangan, dan masalah lingkungan lainnya. Kalau negara 'gak ngantuk', maka kekeringan bisa terantisipasi, konflik pertambangan bisa teratasi, sehingga tidak meletus seperti di Lumajang (26/9/2015). Bahkan, krisis pangan juga tidak terjadi," ujarnya.

Akademisi asal Lamongan, Jatim, yang akrab disapa Cak Parto itu menyatakan negara yang tidak mengantuk akan bisa belajar pada buku "Negara Kertagama" yang merupakan karya leluhur pada era Kerajaan Majapahit.

"Kita sekarang sudah memiliki banyak orang pintar, tapi kita ternyata masih kalah dengan para leluhur kita pada tujuh abad silam, karena para leluhur itu mengelola negara dengan manajemen berbasis desa yang setiap desa memiliki tiga ciri yakni embung, lumbung, dan kampung alam," katanya.

Artinya, kekeringan, krisis pangan, dan konflik sumber daya alam tidak terjadi karena setiap desa atau setiap kampung memiliki satu waduk (embung atau telaga), satu lumbung (gudang beras atau Bulog Desa), dan kampung alam (hutan desa atau kawasan konservasi atau taman resapan).

"Kalau setiap satu desa memiliki satu waduk, satu lumbung, dan satu kampung alam (hutan), maka saat kemarau tidak akan kekeringan dan saat hujan tidak akan banjir, karena ada penampungan air berupa waduk pada setiap desa," tandas Ketua KAPAL (Kenduri Agung Pengabdi Lingkungan) Jawa Timur itu.

Selain itu, saat kekeringan juga tidak akan terjadi krisis pangan atau sampai impor pangan (beras, jagung, dan sebagainya), karena setiap panen selalu ada yang disimpan di gudang desa.

"Yang lebih penting lagi tidak akan terjadi urbanisasi cukup besar dari desa ke kota, karena kampung alam atau hutan desa yang merupakan sumber penghidupan untuk pertanian atau perkebunan juga terjaga," katanya.

Mantan Asisten Ahli Menteri Lingkungan Hidup itu menegaskan bahwa negara yang mengantuk akan menyebabkan tiga bahaya yakni bakarlah, tambanglah, dan bunuhlah.

""Bakarlah" itu berarti pembakaran. Pembakaran itu bukan kebakaran, karena pembakaran itu ada unsur kesengajaan. Apakah kalau kebakaran hutan atau kabut asap terjadi pada setiap kurun April-September itu bukan kesengajaan?. Perusak lingkungan itu sama dengan teroris karena unsur perencanaan dan massal itu," ujarnya.

Untuk "tambanglah" juga menjadi bahaya, kata pegiat lingkungan yang juga menjadi konsultan lingkungan Pemprov Jatim itu, karena UUD 1945 atau Konstitusi itu memakmurkan rakyat tapi rakyat di kawasan tambang umumnya justru miskin.

"Itu berarti ada manajemen tambang yang salah, apalagi UU Minerba dan UU Pertambangan juga tidak pro rakyat sekitar tambang. Kalau manajemen tambang itu benar, tentu ada waktu kapan boleh menambang, kapan tidak, wilayah yang boleh dan tidak, dan seterusnya, ada zonasi, kuota," katanya.

Untuk "bunuhlah" berarti setiap orang yang melawan pembakaran dan penambangan akan dibunuh. "Kalau jawaban berupa pembunuhan itu berarti negara tidak bermakna, negara kalah dari perompak negara, dan negara mengantuk. Itu solusi yang kembali ke zaman batu, seperti Lumajang itu," katanya.
Tags: