Paksa Badan dalam Kepailitan secara Prinsipil Berbeda
Berita

Paksa Badan dalam Kepailitan secara Prinsipil Berbeda

Jakarta, hukumonline.Terdapat perbedaan-perbedaan prinsipil antara paksa badan (gijzelling) yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2000 dengan paksa badan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan (UUK).

Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Paksa Badan dalam Kepailitan secara Prinsipil Berbeda
Hukumonline

Sebaiknya, dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur masalah paksa badan dan bukan melalui Perma. Selama ini, aturan paksa badan terdapat di dalam beberapa peraturan yang terpisah yang baik secara prinsip maupun teknis pelaksanaanya berbeda-beda.

Paksa badan dalam Perma No.1/2000 lahir untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam memecahkan permasalahan dan pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan diterapkannya paksa badan, debitur yang beritikad tidak baik akan dipaksa untuk memenuhi kewajibannya.

Berdasarkan Pasal 209 sampai 224 HIR dan Pasal 242 sampai 258 Rbg, serta pasal 580 sampai 606 Rv, lembaga paksa badan merupakan alat untuk upaya paksa tidak langsung melalui tekanan secara psikis bagi debitur yang tidak beritikad baik agar segera membayar utang-utangnya.

Keadaan mendesak

Dalam seminar "Efektifitas Lembaga Penyanderaan Bagi Penegakkan Hukum dan Pemulihan Ekonomi" yang diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) pada Kamis (31/8), Toton Suprapto selaku Ketua Tim Penyusun Perma tersebut berkomentar bahwa lahirnya Perma tentang paksa badan didorong pada suatu keadaan mendesak untuk mengembalikan piutang negara.

Untuk mengisi kekosongan hukum, berdasarkan Pasal 79 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, MA mempunyai wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (rule making power).

Berdasarkan pasal 1(b) Perma Nomor 1 Tahun 2000, debitur yang beritikad tidak baik adalah debitur, penanggung, atau penjamin hutang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar utang-utangnya.

Menurut Toton yang juga Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Perdata Tindak Tertulis, yang menjadi ukuran mampu bagi debitur adalah dengan melihat penampilannya. "Penampilan debitur yang mampu, bisa dilihat dari tempat tinggalnya, gaya hidupnya, dan lain-lain," cetusnya.

Tags: