Pasal 256 KUHP Baru dan Ancaman Serius Bagi Demonstran
Kolom

Pasal 256 KUHP Baru dan Ancaman Serius Bagi Demonstran

Disahkannya KUHP baru masih menyimpan sejumlah persoalan, utamanya terkait pasal-pasal yang memiliki potensi berbahaya bagi aktivitas demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Bacaan 4 Menit
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) telah resmi diketok Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 6 Desember 2022 lalu. Disahkannya produk hukum ini masih diwarnai sejumlah penolakan, utamanya oleh kelompok masyarakat sipil.

Walaupun dinilai memiliki urgensi untuk disahkan sebagai upaya demokratisasi dan dekodifikasi, nyatanya sejumlah pasal dalam draf final dinilai masih menyimpan potensi berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Pasal-pasal tersebut antara lain pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden, penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara dan Pasal 256 yang diatur dalam BAB V tentang tindak pidana terhadap ketertiban umum.

Misi pembaharuan hukum nasional dengan membawa semangat dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, harmonisasi, dan modernisasi nampak tak tercermin dengan diaturnya pasal-pasal anti-demokrasi tersebut. Proses demokratisasi utamanya, dalam KUHP baru nampak tak terinternalisasi secara paripurna mengingat terdapat pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Begitupun dalam pasal yang tak banyak mendapatkan sorotan seperti halnya Pasal 256 KUHP baru. Padahal, pasal ini problematis dan dapat menjadi alat kriminalisasi baru, utamanya bagi masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat di muka umum.

Baca juga:

Pasal ini menyebutkan bahwa “Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Ketentuan pasal di atas juga memberikan penjelasan yakni yang dimaksud dengan “terganggunya kepentingan umum” adalah tidak berfungsinya atau tidak dapat diaksesnya pelayanan publik akibat kerusakan yang timbul dari adanya pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.

Keliru Gunakan Hukum Pidana

Hukum pidana sebagai jalan terakhir seharusnya terimplementasi, terlebih dalam merespon ekspresi sah lewat metode demonstrasi. Sebelumnya, rezim pengaturan semacam ini berwatak administratif sebagaimana tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Bahkan, produk hukum ini justru dihadirkan guna menjamin kebebasan dan berekspresi dalam berbagai bentuk.

Tags:

Berita Terkait