Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP, Kemunduran Hukum Indonesia
Berita

Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP, Kemunduran Hukum Indonesia

Batasan penghinaan dan kritik tidak jelas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua DPR Setya Novanto. Foto: RES
Ketua DPR Setya Novanto. Foto: RES
Masuknya Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden menuai beragam ketidaksetujuan dari berbagai kalangan. Tak saja dari kelompok masyarakat sipil, sebagian kalangan di parlemen menyatakan penolakan. Soalnya, pasal tersebut sebagai bentuk kemunduran hukum di Indonesia.

Ketua DPR Setya Novanto menilai wacana dihidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden sebaiknya dikajian mendalam. Prinsip persamaan setiap warga negara di mata hukum mesti dikedepankan. Masyarakat sejatinya dapat menyampaikan aspirasi maupun kritiknya terhadap pejabat negara dengan tujuan perbaikan pelayanan terhadap publik.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpendapat, usulan pemerintah memasukan pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam RKUHP merupakan bentuk kemunduran hukum di Indonesia. Soalnya, pasal karet tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi di era kepemipinan Jimly Asshiddiqie pada 2006.

“Karena tak jelas batasannya, dan justru malah menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujarnya di Gedung DPR, Selasa (4/8).

Menurutnya, putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, jika pemerintah kekeuh dengan usulan pasal tersebut masuk dalam RKUHP, tak ubahnya presiden membuat aturan yang bertentangan dengan konstitusi sesuai putusan MK. Sebaliknya, presiden mesti taat terhadap putusan MK. Ia malahan khawatir justru Presiden Jokowi belum membaca putusan MK tersebut.

“Atau malah tidak tahu rancangan usulan pemerintah ini,” ujarnya.

Pasal 263 ayat (1) dalam RKUHP menyebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun  atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Lebih jauh, politisi Partai Gerindra itu menolak tegas keberadaan pasal tersebut masuk dalam RKUHP. Sebaliknya, pasal yang sudah tertuang dalam draf RKUHP per 5 Juni itu mesti dicabut. Soalnya jika pasal tersebut tetap berada dalam draf dan digolkan bukan tidak mungkin bakal menjadi ancaman bagi masyarakat sipil. Pastinya, pasal tersebut menjadi instrumen pemerintah untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik presiden.

“Saat ini bukan zamannya lagi Presiden takut dikritik atau diprotes oleh civil society, media, intelektual, mahasiswa atau masyarakat umumnya,” ujarnya.

Wakil Ketua DPR lainnya Fahri Hamzah mengamini pandangan Fadli Zon. Menurutnya, menjadi sebuah kemunduran sebuah negara ketika instrumen kritik masyarakat terhadap pejabat negara dihidupkan kembali. Ia tak habis pikir dengan masuknya pasal tersebut dalam RKUHP.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu bakal mempertanyakan langkah pemerintah tersebut dengan memasukan pasal karet itu. Ia setuju serangan masyarakat sipil terhadap pejabat publik sebagai bentuk kritik. Sebab dengan begitu, penyelenggara dan pejabat negara akan introspeksi diri demi perbaikan pelayanan publik. “Konsekuensi sebagai pejabat  negara seperti itu. Tapi kala ke lambang negara itu lain, nah apakah presiden itu lambang negara?. Jadi kembali lagi saja pada putusan MK,” ujarnya.

Terpisah, Koordinator KontraS Haris Azhar mengaku tak habis pikir dengan pemerintah yang mencantumkan pasal yang sudah ditiadakan MK. Haris justru menegarai Presiden Jokowi tidak menandatangani surat presiden saat diantar ke DPR, atau sebaliknya menandatangani persetujuan lantaran menginginkan pasal tersebut masuk dalam RKUHP. Ia menilai implikasi pasal tersebut berdampak pada perkembangan demokrasi.

“Ini (pasal penghinaan terhadap presiden, red) sudah sepatutnya ditarik, karena sudah tidak jamannya lagi. Karena mengkritik presiden bagian dari demokrasi dan sarananya harus diciptakan,” ujarnya usai menjadi pembicara sebuah seminar di Gedung Dewan Pers.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruprion Watch (ICW), Emerson Yuntho, menilai pasal tersebut menjadi ancaman kebebasan berpendapat dan pers. Ia berpandangan langkah pemerintah tersebut mendorong mundur sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.

“Kalau itu dihidupkan akan menghidupkan rezim otoritarian. Kalau presidennya bener mungkin enak, tapi kalau presidennya bersikap otoriter, semua hal yang dianggap menyenggol presiden sangat mungkin dikriminalisasi,” ujarnya.

Pria berkacamata itu lebih jauh berpandangan keberadaan pasal tersebut dalam RKUHP mengembalikan ke era orde baru. Makanya, ia meminta agar DPR tidak terburu-buru melakukan pembahasan RKUHP. Setidaknya DPR tidak menjadi bagian melanggengkan rezim orde baru dan otoriter.

Ia menyarankan agar MK proaktif terhadap pembahasan RKUHP di DPR. Artinya, kata Emerson, MK mengingatkan DPR terhadap sejumlah pasal yang berpotensi membungkam proses demokrasi dengan membangun kembali era orde baru.

“Di luar penghapusan pasal penghinaan presiden masih banyak pasal pidana di KUHP yang dibatalkan, atau ditafsirkan oleh MK,” pungkasnya.

Sekedar diketahui, Ketua MK Jimly Asshiddiqie pada Desember 2006 telah membatalkan Pasal 134, 136 dan 137 tentang penghinaan terhadap presiden. Soalnya, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. MK menilai dengan pasal tersebut berdampak terhambatnya upaya komunikasi dan perolehan informasi. Bahkan, berpotensi menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran, lisan, tulisan dan ekpresi sikap.
Tags:

Berita Terkait