Paten dan Revolusi Industri 4.0
Terbaru

Paten dan Revolusi Industri 4.0

Revolusi digitalisasi 4.0 memaksa masyarakat untuk siap berkompetisi, termasuk di dalamnya kekayaan intelektual.

Oleh:
CR-27
Bacaan 3 Menit
Diskusi Live Instagram Hukumonline bertajuk Mengenal Paten, Pilar Inovasi Era 4.0, Selasa (23/11).
Diskusi Live Instagram Hukumonline bertajuk Mengenal Paten, Pilar Inovasi Era 4.0, Selasa (23/11).

Seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih di era 4.0, terbukti sangat berguna dalam menambah wawasan serta informasi yang lebih cepat dan lengkap. Perkembangan teknologi ini setiap tahunnya semakin meningkat sesuai dengan dinamika gaya hidup masyarakat.  

Perkembangan teknologi ini berkembang seiring dengan banyaknya pencipta yang menghasilkan karya intelektual yang dituangkan ke dalam media massa. Namun, karya intelektual ini tidak dibarengi dengan perlindungan hak intelektual. Perlindungan karya intelektual yang masih minim ini tentunya merugikan pemilik hak intelektual yang mana dapat memberikan hak ekonomi dan hak moral.

“Revolusi digitalisasi 4.0 memaksa kita untuk siap berkompetisi, termasuk di dalamnya kekayaan intelektual,” ungkap Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia, Laksana Tri Handoko, dalam diskusi Live Instagram Hukumonline bertajuk ‘Mengenal Paten, Pilar Inovasi Era 4.0’, Selasa (23/11).

Handoko menjelaskan kunci dari kompetisi ini adalah seberapa jauh masyarakat dapat menciptakan kebaruan, tidak hanya menciptakan produk baru. Kekayaan intelektual memiliki instrumen yang memiliki fungsi sebagai bentuk pengakuan atas pembaruan yang telah diciptakan dan hal ini bisa berupa paten. (Baca: Merek Dagang dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual)

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten ini diatur secara khusus dalam UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten.

Handoko melanjutkan, kemampuan untuk menciptakan kebaruan yang dibuktikan dengan kekayaan intelektual itu sangat krusial. “Masyarakat harusnya memperbanyak kekayaan intelektual yang dimiliki. Secara umum seseorang dihargai atas paten yang dimilikinya. Harga produk nilai dari kekayaan intelektual itu sendiri dihargai sebanyak 30%, hal ini juga sejalan ketika kita menggunakan paten milik orang lain, maka kita harus membayar lisensi sebanyak 30%,” katanya.

Membicarakan paten tidak hanya membicarakan pengakuan namun juga perlindungan. Hal inilah yang menciptakan pasar yang kompetitif bagi industri ataupun periset, karena kekayaan intelektual adalah salah satu indikator pertama yang diwajibkan dimiliki oleh periset. Namun, Handoko menegaskan bahwa tujuan meriset bukan hanya untuk sekadar mendapat kekayaan intelektual.

“Selain kekayaan intelektual, periset perlu memperhatikan kebaruan yang berbeda dari produk yang diciptakan yang berbasis kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual ini bisa menjadi rekam jejak bagi seluruh periset untuk memberi bukti bahwa mereka mampu meriset dibidangnya,” jelas Handoko.

Kehadiran paten di lingkup periset masih sering mengalami kesalahpahaman. Periset sering kali terbalik mengenai paten dan hak cipta. Hal ini diungkapkan oleh Stefano Thomy Asri Darmadi selaku Pemeriksa Paten Madya DJKI Kemenkumham.

“Adakalanya rekan-rekan peneliti masih terbalik mengenai pemahaman soal paten. Paten sesungguhnya bukanlah sesuatu yang ‘wah’. Paten pun berbeda dengan merek, desain dan hak cipta lainnya. Masing-masing itu jelas berbeda dan memiliki aturannya sendiri,” kata Stefano.

Paten adalah salah satu rezim di bawah naungan kekayaan intelektual yang berkaitan langsung dengan teknologi. Paten harus berupa kebaruan secara universal meski nantinya dilindungi oleh perlindungan yang bersifat teritorial.

Adanya paten ini turut memberikan insentif ekonomi bagi pemilik kekayaan intelektual paten tersebut. Hal ini bisa mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba dalam berinovasi. Paten berpotensi memberikan keuntungan finansial jika didaftarkan.  Periset akan mendapatkan keuntungan sebanyak 40% dari keuntungan paten dan 60% akan dikembalikan kepada Negara.

"Hal ini merupakan salah satu bentuk penghargaan untuk kreatifitas, karena produk tidak akan terjadi tanpa adanya kreativitas. Melakukan riset penting, namun perlindungan atas hasil kekayaan intelektual berdasarkan riset juga penting." lanjut Tomy.

Saat ini jumlah paten masih didominasi paten asing. Untuk mendukung semakin banyak paten dari anak bangsa, maka Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mendaftarkan paten melalui website www.dgip.go.id secara online.

Tomy menjelaskan lebih lanjut pada sepanjang tahun 2021, pelanggaran mengenai paten terus meningkat. Hal ini menurut Tomy bisa jadi adanya tingkat kesadaran masyarakat yang melihat bahwa paten ini penting. Penegakan hukum atas pelanggaran ini juga berdasarkan delik aduan yang mekanisme penegakan hukumnya sama dengan penegakan hukum kekayaan intelektual lainnya.

Tomy menghimbau jika masyarakat memiliki persoalan pelanggaran paten yang dimilikinya bisa langsung melapor kepada penegak hukum yang bisa menindak pelanggaran kekayaan intelektual.

Tags:

Berita Terkait