Pekerja Migran Tuntut Janji Presiden SBY
Berita

Pekerja Migran Tuntut Janji Presiden SBY

Untuk meratifikasi konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (PRT).

ADY
Bacaan 2 Menit

Akibatnya, banyak pekerja migran yang bekerja di negara penempatan menggunakan cara lain. Contohnya ketika ingin bekerja ke Arab Saudi, pekerja migran menggunakan visa umroh. “Dampaknya, saat ini di Arab Saudi terdapat puluhan ribu pekerja migran yang tak berdokumen. Itu terjadi karena pemerintah melepas tanggungjawabnya untuk melayani pekerja migran (menyerahkan ke swasta,-red),” ucapnya.

Atas dasar itu Iweng menilai pemerintah sudah semestinya memberi pelayanan kepada pekerja migran untuk mendapat dokumen yang dibutuhkan dengan cepat, mudah dan murah. Parahnya, minimnya pelayanan dokumen itu dirasakan hampir semua pekerja migran di seluruh negara penempatan. Iweng melihat hal itu terjadi karena pemerinah sampai saat ini belum menganggap PRT sebagai pekerja.

Sebagaimana Rudi, Iweng menganggap pemerintah perlu menjalin kesepakatan dengan negara penempatan dalam rangka memaksimalkan perlindungan untuk pekerja migran. Misalnya, pemerintah dapat menetapkan standar yang harus dipenuhi negara penempatan jika mau menggunakan jasa pekerja migran Indonesia. Kuatnya posisi Indonesia tampak ketika pemerintah menerbitkan moratorium pengiriman pekerja migran PRT ke Arab Saudi dan Malaysia. Sehingga kedua negara itu kebingungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya atas PRT.

Selaras dengan itu untuk mengoptimalkan perlindungan pekerja migran, Iweng menyebut Presiden SBY harus meratifikasi konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak PRT. Sehingga, dalam menjalin kesepakatan dengan negara penempatan, pemerintah punya modal yang kuat. “Sehingga perlindungan pekerja migran di luar negeri terjamin,” ujarnya.

Sementara komisioner Komnas Perempuan, Agustinus Supriyanto, mengingatkan dalam konvensi ILO tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya dijelaskan perlindungan tersebut tidak melihat apakah berdokumen atau tidak. Merujuk hal itu Agus menegaskan tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memberi perlindungan kepada pekerja migran apapun statusnya. “Itu hak pekerja migran,” tukasnya.

Soal dokumen, Agus menilai ketika bekerja, pekerja migran cenderung mengantongi dokumen resmi seperti paspor. Mereka menjadi tak berdokumen karena beberapa hal, seperti dokumen hilang atau ditahan majikan. Sementara Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) berlaku untuk pekerja migran yang ingin kembali ke Indonesia. Persoalannya, kerap ditemui pekerja migran kesulitan mengurus dokumen.

Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina, Agus menilai Indonesia ketinggalan dalam hal memberi pelayanan dokumen. Pasalnya, secara jelas pemerintah Filipina mengatur agar pekerja migran melaporkan petugas pelayanan yang dinilai mempersulit pekerja migran mendapat dokumen. Untuk itu Agus menyebut Komnas Perempuan mengingatkan pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi konvensi ILO tentang Kerja Layak PRT. Serta mengadopsinya dalam RUU PRT dan RUU PPILN. “Dengan adanya peraturan untuk PRT, akan menjaga posisi PRT secara hukum,” urainya.

Sementara anggota Jala PRT, Dinda Nuranisa Yura, mengatakan konvensi ILO tentang Kerja Layak PRT sangat penting untuk di ratifikasi. Pasalnya, PRT kerap mengalami tindak kekerasan dan masalah ketenagakerjaan. Apalagi, lokasi kerjanya tergolong tertutup karena di dalam rumah majikan. Belum lagi paradigma masyarakat yang selama ini masih melihat posisi PRT secara tidak tepat. Misalnya, PRT seolah dianggap layak menerima upah rendah dan lainnya.

Dengan diratifikasinya konvensi itu, Dinda berharap akan mengubah paradigma masyarakat tersebut. “Kami tidak ingin karena belum diratifikasi, RUU Perlindungan PRT akan bermasalah isinya,” pungkasnya.

Tags: