Pelaksanaan Mahkamah Syari'ah di Aceh Masih Terganjal
Berita

Pelaksanaan Mahkamah Syari'ah di Aceh Masih Terganjal

Mahkamah Syari'ah di Aceh belum berjalan sebagaimana mestinya. Pertunjuk pelimpahan berkas perkara dari penuntut ke pengadilan butuh payung hukum yang jelas. Keppres No. 11/2003 belum cukup?

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Pelaksanaan Mahkamah Syari'ah di Aceh Masih Terganjal
Hukumonline

 

Sejak diberlakukan Maret lalu, praktis MS dan MSP belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Konon, belum ada perkara syari'ah yang dilimpahkan. Padahal begitu disahkan Presiden Megawati lewat Keppres No. 11/2003, MS langsung menggantikan fungsi dan wewenang  Pengadilan Agama (PA) yang ada di Aceh. Sementara MSP menggantikan fungsi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).

 

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. B2/2/449/2003, ada 19 pengadilan agama yang diresmikan menjadi Mahkamah Syariah. Masing-masing di Banda Aceh, Jantho, Sigli, Lhoksukon, Lhokseumawe, Calang, Meulaboh, Kutacane, Tapaktuan, Bireun, Pidie, Kualasimpang, Sinabang, Singkil, Meureudu, Langsa, Takengon, Sabang dan Blangkejeren.

 

Pengalihan fungsi dan wewenang pengadilan itu sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).  Berdasarkan Undang-Undang ini, MS dijadikan sebagai peradilan syariat Islam dengan kompetensi absolut meliputi seluruh aspek syariat Islam, yang pengaturannya dibuat dalam bentuk qanun.

 

Qanun

MS dan MSP diresmikan langsung oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pada 4 Maret 2003. Turut hadir dalam peresmian Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung. Dalam kesempatan itu juga diresmikan Dinas Syariat Islam NAD, dikepalai oleh DR Alyasa' Abubakar.

 

Berdasarkan catatan hukumonline sejak keluarnya UU No. 18/2001 Pemda Aceh sudah mengeluarkan sejumlah qanun. Yang terkait langsung dengan sistem peradilan adalah Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari'at Islam, No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Di luar sistem peradilan, Qanun yang telah dikeluarkan cukup beragam (lihat tabel).

 

Tabel

Beberapa Qanun Propinsi NAD Tahun 2002

 

No. Qanun

Masalah yang Diatur

1

Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi NAD Tahun 2001-2005

2

Program Pembangunan Daerah (Propeda) Propinsi NAD Tahun 2001-2005

3

Rencana Strategis Pembangunan Daerah Propinsi NAD Tahun 2001-2005

4

Dana Perimbangan antara Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

5

APBD Propinsi NAD Tahun Anggaran 2002

6

Sisa Perhitungan APBD Propinsi NAD Tahun Anggaran 2002

7

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Propinsi NAD

8

Bantuan Luar Negeri dan Pinjaman Propinsi

9

Penyertaan Modal dan Kerjasama Pemerintah Propinsi NAD dengan Pihak Ketiga

10

Peradilan Syariat Islam

11

Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam

12

Pertambangan Umum, Minyak Bumi dan Gas Alam

13

Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Propinsi NAD

14

Kehutanan Propinsi NAD

15

Perizinan Kehutanan Propinsi NAD

16

Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Perikanan

17

Izin Usaha Perikanan

18

Retribusi Penjualan Produksi Usaha Bidang Perikanan

19

Retribusi Pasar Grosir dan Penyelenggaraan Pelelangan Ikan

20

Konservasi Sumder Daya Alam

21

Pengelolaan Sumder Daya Alam

22

Pembinaan dan Pengawasan Usaha Perfilman

23

Penyelenggaraan Pendidikan

24

Perubahan APBD Propinsi NAD Tahun Anggaran 2002

 

  Sumber : Dinas Syariat Islam Propinsi NAD

 

 

Pada dasarnya, Mahkamah Syari'ah belum berjalan bukan karena tidak ada perkara. Mengacu kepada sejumlah aturan atau qanun yang sudah dibuat Pemda Aceh, sangat gampang menjerat seseorang dan menyeretnya ke mahkamah.

 

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman mencontohkan, mereka yang menyediakan fasilitas atau peluang kepada seseorang untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dapat dipidana maksimum satu tahun penjara (pasal 22 Qanun No. 11). Ketentuan lain menyebut larangan meninggalkan shalat Jum'at tiga kali berturut-turut, dengan ancaman hukuman penjara enam bulan atau cambuk di depan umum tiga kali.

 

Payung hukum

Pengakuan atas mandegnya MS dan MSP juga datang dari Ahmad Farhan Hamid, anggota DPR asal Aceh. Farhan memang tidak ikut dalam pertemuan Gubernur Aceh dengan Jaksa Agung. Tetapi ia sudah mengadakan peninjauan ke daerah asalnya tersebut dalam rangka memantau darurat militer. Politisi Partai Amanat Nasional ini berpendapat bahwa mandegnya pelaksanaan Mahkamah Syariah tidak ada kaitannya dengan status darurat militer.

 

Farhan menduga mandegnya pengoperasian MS antara lain lebih disebabkan oleh multi interpretasi di kalangan aparat pemerintah dan aparat hukum. Masing-masing institusi --kejaksaan, pengadilan, polisi dan penguasa darurat militer-- jalan sendiri-sendiri. Padahal, menurut Farhan, diperlukan satu visi dan kesepahaman. "Untuk menjalankan Mahkamah Syariah diperlukan kesepakatan-kesepakatan," ujarnya kepada hukumonline.

 

Kalaupun sudah ada Keppres No. 11/2003, itu dirasakan belum cukup. Menurut Farhan perlu payung hukum yang lebih kuat, semisal Peraturan Pemerintah, yang menjabarkan berbagai hal secara detail. Sehingga ada payung hukum yang jelas bagi setiap institusi yang terlibat.

 

Itu pula yang "dikeluhkan" pihak kejaksaan. Menurut Kemas Yahya Rahman, jaksa memerlukan payung hukum yang menjadi dasar --misalnya-- melimpahkan perkara ke pengadilan. Sebab, menggunakan KUHAP belum tentu sejalan dengan prinsip peradilan Islam.

 

UU No. 18/2001 hanya menyinggung sedikit mengenai kejaksaan di Aceh. Pasal 24 hanya menyebut bahwa fungsi kejaksaan syari'ah dijalankan oleh kejaksaan propinsi NAD sebagai bagian dari Kejaksaan Agung. Masalah lain yang diatur adalah wewenang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh. Itu sebabnya, kata Kemas, sedang dipertimbangkan untuk membentuk seksi syari'ah pada setiap kejaksaan negeri.

 

Payung hukum lain yang diperlukan jaksa adalah peraturan organik tentang eksekusi putusan. Bagaimana, misalnya, jaksa menjalankan hukuman cambuk? Alat apa yang dipergunakan? Dimana dilaksanakan? Sayang, hingga saat ini belum ada qanun yang jelas mengatur tata cara pelaksanaan hukuman cambuk.

 

Sebenarnya, wewenang jaksa sudah dijelaskan secara umum dalam pasal 17 Qanun No. 11. Di sana jelas disebut bahwa jaksa berwenang melimpahkan perkara ke Mahkamah Syariah. Tetapi, seperti dikatakan Farhan Hamid, payung hukumnya perlu lebih diperkuat, tidak hanya Qanun dan Keppres, melainkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

 

Fungsi Pengawasan

Pengawasan terhadap pelaksanaan qanun syariah Islam dijalankan oleh suatu lembaga yang disebut Wilayatul Hisbah (pasal 1 angka 11 Qanun No. 11). Pembentukan lembaga pengawas ini pun tampaknya tidak gampang. Sebab, Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah lingkungan lainnya.

 

Wilayatul Hisbah menjadi watchdog pelaksanaan Qanun. Lembaga inilah yang melimpahkan berkas perkara dugaan pelanggaran qanun ke penyidik. Sebelum melimpahkan perkara, Wilayatul Hisbah harus terlebih dahulu menegur atau menasehati pelanggar. Perkara baru dilimpahkan jika pelanggar tidak berubah.

 

Dalam kaitan dengan fungsi pengawasan, patut dicatat ruang lingkup peradilan syariat Islam ini. Saat meresmikan MS tempo hari Gubernur Abdullah Puteh sudah mewanti-wanti kekhawatiran banyak kalangan. Ia memastikan bahwa MS dan MSP hanya berlaku warga NAD beragama Islam. Dengan demikian, hak-hak warga non-muslim di wilayah Aceh tidak akan terganggu. Bagi penduduk Aceh yang beragama lain tetap berlaku sistem peradilan biasa.

Mahkamah Syari'ah di Aceh belum berjalan sebagaimana mestinya. Pertunjuk pelimpahan berkas perkara dari penuntut ke pengadilan butuh payung hukum yang jelas. Keppres No. 11/2003 belum cukup?

 

Gubernur Abdullah Puteh beserta 11 pejabat dan anggota Dewan asal Aceh menemui Jaksa Agung M.A Rachman, Selasa (4/11) lalu. Dalam pertemuan itu, Puteh menyampaikan laporan sekaligus meminta masukan tentang pelaksanaan Mahkamah Syari'ah (MS) dan Mahkamah Syari'ah Propinsi (MSP) di Naggroe Aceh Darussalam.

 

"Dalam pertemuan itu, Gubernur Aceh meminta agar Mahkamah Syari'ah diberdayakan," jelas Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, sehari setelah pertemuan.

Tags: