Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Perjanjian yang sah bisa ditarik kembali atas sepakat kedua belah pihak.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Atas dasar itu dikatakan, bahwa menurut B.W. perjanjian bersifat konsensual dan obligatoir. Ciri “bersifat konsensual” mau mengatakan, bahwa untuk lahirnya perjanjian -- menurut B.W.  -- pada asasnya tidak perlu ada formalitas tertentu, sepakat saja sudah cukup. “Bersifat obligatoir” mau mengatakan, bahwa dengan ditutupnya perjanjian, yang lahir baru hak dan kewajiban (perikatan) antara para pihak; objek perjanjian baru beralih nanti melalui tindakan penyerahan.

 

Asas di atas, yaitu perjanjian menurut B.W. pada asasnya bersifat “konsensual”, punya pengaruh yang besar sekali dalam praktik perjanjian, yang seringkali dilupakan. Contohnya pernah diajukan pertanyaan, dalam hal perjanjian dituangkan dalam akta notaris, kapan perjanjian itu lahir? Perjanjian itu mestinya sudah lahir sebelum dibawa ke notaris. Perjanjian itu sudah lahir pada waktu dicapai kata sepakat, namun orang perlu bukti yang kuat atas sepakat yang telah dicapai. Mereka datang ke notaris minta agar sepakat mereka dituangkan dalam akta notaris.

 

Juga tidak benar, kalau dikatakan orang membuat perjanjian di hadapan notaris. Bayangkan, apa notaris nganggur sehingga ia mau menyaksikan orang tawar menawar isi perjanjian sampai dicapai sepakat?  Bukankah perjanjian -- misalnya perjanjian jual beli -- merupakan hasil perundingan antara penjual dan pembeli, yang ada kalanya bisa berlangsung untuk waktu yang cukup lama?

 

Orang yang datang ke notaris sudah menutup perjanjian. Perkecualiannya adalah perjanjian yang bersifat formil, yang harus berbentuk akta tertentu, misalnya harus notariil, yang sekalipun demikian, sepakat perjanjian ybs. sudah dicapai sebelum datang ke notaris, tetapi perjanjian itu dianggap baru lahir pada waktu sudah dituangkan dalam akta notaris.

 

Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) B.W. adalah, bahwa: perjanjian yang tidak sah, tidak mempunyai daya mengikat.

 

“Sah” di sini diartikan memenuhi semua syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1335 jo. Pasal 1337 B.W. Demikian juga dengan perjanjian yang dibatalkan; perjanjian seperti itu -- bisa sejak semula, bisa untuk selanjutnya -- tidak mengikat atau tidak mengikat lagi. Jadi keabsahan suatu perjanjian berkaitan dengan daya mengikatnya.

 

Pasal 1338 ayat (2) B.W. mengatakan: “Suatu perjanjian tidak bisa ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Tags:

Berita Terkait