Pembatasan Akses Internet di Papua Berujung Gugatan
Utama

Pembatasan Akses Internet di Papua Berujung Gugatan

Pembatasan dan pemutusan akses internet di Papua medio Agustus 2019 lalu dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan konstitusi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES

Pembatasan dan perlambatan akses internet yang dilakukan pemerintah di Papua medio Agustus 2019 berdampak terhadap akses masyarakat terhadap informasi, terutama yang beredar melalui media daring. Kebijakan itu mendapat sorotan dari kalangan masyarakat sipil karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Alhasil. Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari AJI dan Safenet menggugat tindakan pemerintah ini ke PTUN Jakarta. Gugatan tertanggal 21 November 2019 ini telah didaftarkan dengan nomor 230/G/2019/PTUN-JKT.

 

“Pada 19 Agustus 2019, pemerintah melakukan throttling atau pelambatan akses/bandwidth di beberapa wilayah Papua Barat dan Papua,” ujar kuasa hukum Koalisi, Ade Wahyudin saat dikonfirmasi usai mendaftarkan gugatan di PTUN Jakarta, Kamis (21/11/2019). Baca Juga: Komnas HAM Siap Bantu Atasi Konfkik di Papua Lewat Dialog

 

Sebelumnya, dalam siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berdalih pelambatan itu ditujukan untuk mencegah meluasnya hoaks yang memicu aksi kerusuhan. Karena itu, pada 21 Agustus 2019 pemerintah melakukan pemutusan akses internet secara menyeluruh di Papua dan Papua Barat. Kominfo beralasan pemutusan itu untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua.

 

"Kami menggugat tindakan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Presiden RI dan Menteri Komunikasi dan Informatika karena melakukan perlambatan dan pemutusan akses internet tanpa mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Ade Wahyudin.

 

Dia mengungkapkan pemutusan akses internet itu menyebabkan sedikitnya 29 kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat tidak bisa mengakses layanan data. Kebijakan ini membuat jurnalis, terutama yang bekerja di Papua dan Papua Barat tidak dapat bekerja untuk memenuhi hak informasi masyarakat karena akses internet yang dibatasi. Jurnalis di lapangan pun kesulitan berkomunikasi dengan kantor redaksinya, kesulitan menghubungi narasumber, mengunduh berita ke media daring dan menyebarkannya melalui media internet.

 

Koalisi menilai kebijakan ini menjadi ancaman serius karena menghalang-halangi kerja jurnalis. Pasal 8 UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Pasal 4 ayat (3) UU No.40 Tahun 1999 menegaskan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional punya hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Tags:

Berita Terkait