Pembiaran
Tajuk

Pembiaran

Pemerintahan ini tidak banyak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, di mana tujuan mencapai pemerintahan yang bersih diabaikan, kebijakan anti korupsi dikorupsi, kemampuan membuat kebijakan disalahgunakan, dan lembaga pendukung praktik demokrasi dilemahkan.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Seorang sahabat senior ditanya oleh sahabat senior lain dalam WAG kami bertiga, apakah bersedia untuk ikut menjadi penandatangan suatu pernyataan keprihatinan mengenai carut marut politik soal pencalonan bakal presiden dan wakil presiden untuk pemilu 2024 mendatang, yang kita semua tahu telah menyeret Mahkamah Konstitusi (MK) yang dulu kita banggakan sebagai “guardian of the constitution” ke dalam kancah politik praktis, dan membawa MK ke posisi integritas terendah sejak didirikan. Jawab sahabat senior yang pernah menjadi petinggi negara dalam beberapa jabatan puncak, singkat saja: “tidak mau, karena saya tidak pernah berharap (terhadap pemerintahan kini).”

Saya agak setuju dengan jawaban ini. Walaupun tahun 2019, di bilik pemilihan saya masih, dengan agak ragu, memilih kembali Presiden Jokowi. Saya juga tidak banyak berharap darinya untuk urusan reformasi hukum. Ini kemudian terbukti dengan penghancuran secara sistematis, dan juga brutal terhadap KPK yang kita harapkan menjadi “the last institution standing” melawan korupsi masif yang terus terjadi.

Saya dengan reservasi tertentu (masalah HAM, lingkungan dan pembiayaan) setuju dengan kebijakan Presiden Jokowi memasifkan pembangunan infrastruktur, yang sedikit banyak akan menjawab sebagian masalah pembangunan bangsa kita ke depan, karena infrastruktur yang baik biasanya akan menunjang pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat karena akses yang semakin baik, memberi pondasi pemerataan kesempatan yang lebih baik, dan membangun keyakinan tentang kemampuan bangsa sendiri di tengah persaingan global. Dukungan selebihnya saya pilah-pilah dalam program. Program yang baik dan pro rakyat pasti didukung, dan yang buruk pasti dikritik melalui berbagai saluran, dengan cara yang tetap menjunjung adab.

Selebihnya, sebagaimana kita saksikan sendiri, pemerintahan ini tidak banyak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, di mana tujuan mencapai pemerintahan yang bersih diabaikan, kebijakan anti korupsi dikorupsi, kemampuan membuat kebijakan disalahgunakan, dan lembaga pendukung praktik demokrasi dilemahkan, serta semua cara dilakukan untuk memupuk kekuasaan dan melanjutkannya dengan mengakali prinsip-prinsip konstitusi. Orang-orang yang menguasai lembaga politik dibiarkan melakukan “warlord politics”.

Bahkan mereka yang mengendalikan kekuasaan politik, dan juga hukum, dengan membungkus diri dan kebijakannya dengan wewenang kelembagaan, penegakan aturan, penggunaan teori dan bahasa hukum, jelas-jelas melakukan pelanggaran atas konsep negara hukum, melakukan kriminalisasi tebang pilih, dan mengacak-acak “due process of law” dan rasa keadilan. Kemajuan kita menjalankan reformasi sejak 1998 seperti berlari di alat “treadmill.” Kita seperti berlari dengan kecepatan penuh, tetapi kenyataannya dalam banyak aspek kehidupan berdemokrasi dan menjalankan pemerintahan yang bersih, kita tidak pernah beranjak maju, bahkan seringkali kita “kesrimpet”, dan terlempar keluar dari hukum, nalar dan hati nurani.

Tanpa ingin diskusi detail, karena sudah banyak dilakukan oleh banyak pihak, kita sadari bahwa MK sudah terlanjur basah bahkan sudah jadi bubur, dengan memberikan sejumlah keputusan yang kontroversial dan bermasalah mendasar baru-baru ini. Keputusan-keputusan yang mengandung kental unsur benturan kepentingan, tidak taat prosedur bahkan cenderung cacat formil, dan tidak mengutamakan substansi konstitusional yang seharusnya menjadi fokus MK.

Walaupun sudah terlanjur jadi bubur, pertanyaan-pertanyaan mendasar bagi kepentingan sistem politik dan ketatanegaraan kita masih relevan untuk dilontarkan: (a) apakah presiden sebagai pemegang kekuasaan (eksekutif) tertinggi negara tidak mampu untuk mengatakan kepada MK dalam persidangan, bahwa eksekutif akan mengambil peran proaktif dalam perubahan undang-undang yang dinyatakan melanggar konstitusi sesuai dengan prinsip “open legal policy” (OPL) yang acap kali dianut MK sendiri?; (b) apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislatif tidak mampu untuk mengatakan kepada MK dalam persidangan tersebut bahwa DPR akan mengambil peran proaktif dalam perubahan undang-undang yang dinyatakan melanggar konstitusi oleh MK sesuai dengan prinsip OPL?; (c) apakah Ketua MK tidak mengenal dan memahami prinsip benturan kepentingan dengan ikut memutuskan suatu perkara yang mungkin akan menguntungkan keponakannya yang diketahui publik sedang digadang-gadang menjadi bakal wakil presiden dari seorang bakal calon presiden?; (d) apakah presiden yang mengetahui bahwa anaknya sedang digadang-gadang menjadi bakal wakil presiden tidak bisa mengatakan kepada para pimpinan parpol yang mengusulkan untuk tidak menjerumuskan anaknya ke dalam posisi yang dapat menghilangkan “legacy”nya sebagai presiden yang dikenal jujur dan pendorong praktik demokrasi; (e) apakah Presiden juga ikut arus politisi kita dan dunia yang telah dan sedang membangun politik dinasti?; (f) apakah ketua PSI, partai yang pernah memberi harapan kawula muda, tidak bisa mencegah atau meminta partainya membatalkan gugatan konstitusional yang penuh dengan kontroversi menyangkut kans kakaknya menjadi cawapres?; (g) apakah MK begitu mudahnya mengubah prinsip-prinsipnya sendiri yang membingungkan dan membuat patah semangat sejumlah hakimnya sendiri?; (h) dimanakah para tokoh masyarakat, akademisi, aktivis reformasi, pemimpin agama, pemimpin organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa pada waktu mereka sadar bahwa apa yang sedang terjadi dalam proses persidangan MK, menjadikan keberhasilan reformasi yang kita laksanakan selama 25 tahun terakhir mundur ke titik nol, sedangkan pada saat yang sama mungkin mereka masih dapat “mempengaruhi” MK, Presiden dan pihak-pihak terkait, dengan mengajukan “amicus curiae” atau menggalakkan diskusi publik yang masif, bahkan demonstrasi damai ke jalan-jalan?

Mungkin daftar pertanyaan ini bisa lebih panjang lagi, yang pada intinya akan membuat kita mengurut dada untuk bertanya masih adakah etika politik yang bisa dipegang oleh pejabat publik, hakim dan para politisi kita? Apakah batas-batas pengertian korupsi, kolusi dan nepotisme serta benturan kepentingan yang selama ini kita jadikan bagian dari filosofi kebijakan konstitusi dan perundang-undangan bangsa ini tidak dipahami atau sudah tidak mau dipahami oleh Presiden, hakim-hakim MK dan para politisi?

Semua yang terjadi sampai hari ini adalah suatu konspirasi tingkat tinggi yang menjadi skandal yang menoreh luka yang dalam untuk demokrasi dan penegakkan konstitusi kita untuk jangka waktu yang panjang. Kita tahu siapa para pelakunya, dan sejarah akan mencatat tingkah laku aib itu. Tetapi kita juga perlu melakukan autokritik, bahwa para aktivis, tokoh reformasi, golongan menengah teredukasi, sektor swasta, akademisi, dan mahasiswa gagal untuk mencegah ini semua terjadi. Para pelaku dan kita semua melakukan pembiaran yang mengakibatkan ini semua terjadi. Semoga anak cucu kita memaafkan kita semua.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memberikan keputusannya atas laporan sejumlah CSO, advokat dan mereka yang peduli dengan perlunya MK dibangun kembali menjadi “the guardian of constitution” asli, bukan abal-abal. Reputasi para anggota MKMK yang terkenal baik tengah diuji, seberapa jauh penilaian masyarakat atas keputusan MKMK sehingga dapat menegakkan benang basah, atau kalaupun MK sudah jadi bubur. Keputusan MKMK masih bisa dijadikan dasar untuk perbaikan mendasar menjelang pemilu yang akan menentukan nasib bangsa ini ke depan. Setelah lalai berbuat dan melakukan pembiaran, doa kita perlu lebih khusyuk, panjang dan menghiba.

Awal Musim Hujan di Utara Bogor, Arief T Surowidjojo.

Tags:

Berita Terkait