Pemerintah Bantah Komersialisasi Air
Berita

Pemerintah Bantah Komersialisasi Air

Kebijakan pengelolaan air minum justru menghindari praktik privatisasi, swastanisasi, atau komersialisasi air minum.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Bantah Komersialisasi Air
Hukumonline

Pemerintah membantah tudingan bahwa pengelolaan sumber daya air yang diatur dalam UU No. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) diprivatisasi, dikomersialisasi atau dimonopoli pihak swasta. Pengelolaan SDA telah sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Penegasan ini disampaikan Sekjen Kementerian Pekerjaan Umum,  Agoes Widjanarko saat menyampaikan keterangan pemerintah terkait pengujian UU SDA yang dimohonkan Muhammadiyah Dkk. Muhammadiyah mempersoalkan ketentuan Pasal 6 ayat (2), (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 26, Pasal 29 ayat (2), (5), Pasal 45, Pasal 46, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 80, Pasal 91, Pasal 92 ayat (1), (2), (3) UU SDA.

“UU SDA tidak mengenal privatisasi atau swastanisasi, komersialisasi, ataupun monopoli dalam pengelolaan sumber daya air,” tutur Agoes dalam sidang lanjutan pengujian UU SDA di gedung MK (04/12).

Pemerintah juga mengklaim sifat conditionally contitutional dalam putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 terkait kontitusionalitas UU SDA telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh, kehati-hatian, dan cermat. Karenanya, sifat conditionally contitutional tidak perlu dilekatkan kembali dalam permohonan ini.

Agoes menjelaskan kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) berbeda dengan privatisasi/swasta. Pada privatisasi, kepemilikan aset merupakan milik swasta, sementara dalam KPS kepemilikan aset milik pemerintah. Selain itu, target pelayanan pada KPS diatur oleh pemerintah, sedangkan pada privatisasi diatur oleh perusahaan.

Penentuan biaya jasa pelayanan pada KPS diatur pemerintah, seperti Pasal 10 ayat (2) Permendagri No. 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum. “Pemerintah mengakomodasi tarif yang lebih rendah dibandingkan biaya dasar. Ini diperuntukkan bagi pelanggan berpenghasilan rendah dan kepentingan sosial, sementara privatisasi penentuan tarif ditetapkan sepihak oleh swasta,” klaimnya.  

Menurut dia proses penetapan tarif air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) telah dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat sesuai PP No. 15 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sisten Penyediaan Air Minum (SPAM). Hal itu ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan dan pelayanan air minum berkualitas dengan harga terjangkau.

Atas dasar itu, lanjut dia, kebijakan pemerintah di bidang pengembangan/pengelolaan air minum telah memberikan perlindungan untuk menghindari praktik privatisasi/swastanisasi ataupun komersialisasi terhadap air minum yang merupakan hak asasi manusia seperti diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. “Menyatakan pasal-pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945,” pintanya.

Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh diantaranya Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris. Penerapan pasal-pasal itu dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan masyarakat sebagai pengguna air.

Meski mengakui keterlibatan swasta dijamin dalam UU SDA dan putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan telah mewajibkan pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok, di luar hak guna air.

Namun, penafsiran MK itu telah diselewengkan secara normatif yang berdampak teknis pelaksanaannya. Buktinya, dapat dilihat Pasal 1 angka 9 PP No. 16 Tahun 2005  tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat.

Padahal, Pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan pengembangan SPAM tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah. Ini artinya, PP No. 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional MK. Kondisi ini telah melahirkan mindset (pola pikir) pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang sahamnya. Hal ini jelas pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga harus dinyatakan dibatalkan.

Tags:

Berita Terkait