PMK No. 39/PMK.03/2016 berlaku sejak 23 Maret lalu. Khusus untuk data kartu kredit mulai berlaku pada 31 Mei 2016. Pada dasarnya perubahan kelima ini mengubah sustansi sepuluh angka dalam PMK sebelumnya, dan menambah angka 62-67 pada Lampiran PMK tersebut. Dalam angka 67 Lampiran itulah tertera lembaga, instansi, asosiasi atau pihak lain yang diwajibkan menyampaikan informasi data transaksi nasabah kartu kredit.
Data transaksi kartu kredit disampaikan bulanan dengan catatan disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya. Data yang disampaikan adalah nama bank, nomor rekening pemilik kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama dan alamat pemilik kartu, Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian dan nilai transaksi, serta pagu kredit.
Dalam peraturan ini berarti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki akses untuk melihat profil belanja para Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Cara ini dilakukan lantaran DJP tak memiliki akses ke rekening simpanan bank para WP. Lalu apakah akses kartu kredit tersebut dimungkinkan untuk diakses mengingat kerahasiaan data nasabah di perbankan?
Direktur P2 Humas DJP, Mekar Satria Utama, menegaskan akses data nasabah kartu kredit tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, terutama UU Perbankan. Pasal 1 angka 8 UU Perbankan menyebutkan “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya.” Menurut Mekar, pasal tersebut sekaligus menegaskan data nasabah kartu kredit tidak masuk kategori data yang harus dirahasiakan.
“Coba cek lagi, dalam Pasal 1 angka 28 UU Perbankan, di situ disebutkan rahasia itu adalah data nasabah penyimpan. Jadi yang kita gunakan adalah data nasabah kartu kredit sebagai peminjam,” kata Mekar dalam acara Ngobrol Santai bersama awak media di Jakarta, Selasa (05/4).
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU No. 16 Tahun 2009) juga mengatur masalah ini. Pasal 35a ayat (1) menegaskan setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Dalam bagian Penjelasan, di situ disebutkan memang instansi wajib memberikan, kalau dibaca dalam penjelasan termasuk data kartu kredit,” jelas Mekar.
Meski demikian, pria yang kerap disapa Toto ini menegaskan pemilik kartu kredit tak perlu terlalu khawatir. Pasalnya, akses data terhadap kartu kredit bukanlah untuk pengenaan pajak terhadap transaksi yang dilakukan, tetapi hanya sebagai data pembanding untuk memperjelas pola konsumsi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Sebelum aturan ini dirilis, lanjutnya, DJP bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan asosiasi perbankan sudah melakukan pertemuan dan pembahasan terkait penggunaan kartu kredit untuk keperluan pajak. Menurut Toto, OJK sepakat kartu kredit tidak masuk ke dalam data nasabah yang harus dirahasiakan.
DJP siap membahas dengan OJK jika dinilai perlu aturan tambahan untuk memperjelas masalah ini. Selain itu, meski tidak termasuk dalam kerahasiaan data nasabah, DJP memastikan data pemilik kartu kredit akan dijaga. Untuk realisasinya, DJP juga sudah menyiapkan tim yang akan menganalisis data nasabah kartu kredit.
“Sejauh ini masih BUMN dan pemerintah (bank) yang support. Kami belum bisa menyampaikan berapa besar potensi pajak dari kebijakan ini, dan ini bukan hanya menyoal kontribusi pajak, tetapi juga soal kepatuhan. Yang dibutuhkan DJP adalah data nasabah,” paparnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan peraturan kewajiban pelaporan data transaksi kartu kredit bermanfaat untuk melihat profil belanja WP OP. "Data ini diperlukan untuk profil WP OP, karena kita tidak punya akses ke rekening simpanan bank, sesuai UU Perbankan. Makanya yang ingin kita lihat profil belanja, belanja itu salah satunya dari kartu kredit," kata Bambang di Jakarta, Jumat (4/1).
Bambang mencontohkan jika ada WP yang melaporkan pendapatannya sebulan hanya Rp5 juta, namun belanja melalui kartu kredit mencapai Rp20 juta, maka pelaporan bukti pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya tidak tepat. Dalam konteks ini, data dari kartu kredit itu akan dianalisis dengan profil WP.
"Berarti selama ini mengaku penghasilan Rp5 juta di SPT tidak benar, pajaknya harus diperbaiki. Kita akan memadukan antara data transaksi kartu kredit dengan profil wajib pajak," katanya.