Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam Angka
Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam Angka

Dalam penegakan hukum persaingan usaha, KPPU sebaiknya memiliki fokus.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisioner KPPU, Sukarmi. Foto: RES
Anggota Komisioner KPPU, Sukarmi. Foto: RES
Amandemen terhadap UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah lama diupayakan. Setelah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun 2015, kabarnya pembahasan amandemen UU ini akan selesai akhir 2017. Salah satu poin krusial dari amandemen UU tersebut adalah berkaitan dengan penguatan tugas penegakan hukum persaingan usaha oleh Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU).

Berkaitan dengan itu, menarik untuk mengetahui angka-angka yang menjadi capaian KPPU dalam menangani perkara persaiangan usaha tidak sehat. Anggota Komisioner KPPU, Sukarmi, saat menjadi pembicara dalam diskusi panel di Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) beberapa waktu lalu mengatakan, salah satu mandat utama KPPU dalam menjalankan UU No.5 Tahun 1999 adalah KPPU memiliki kewenangan menyelidiki, memeriksa, dan memutuskan dugaan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku bisnis.  

Sukarmi menjelaskan dalam menangani perkara persaingan usaha, sumber-sumber perkara KPPU berasal dari dua hal. Pertama, laporan masyarakat terhadap adanya dugaan praktik persingan usaha tidak sehat. Kedua, inisiatif dari KPPU sendiri terhadap beberapa data maupun informasi yang patut diduga sebagai bagian dari praktik persaingan usaha tidak sehat.

“Data KPPU menyebutkan, jumlah sumber perkara yang ditangani KPPU sepanjang berdiri, 83% berasal dari laporan, 14 % berasal dari inisiatif KPPU, dan 3 % berasal dari merger,” kata Sukarmi.

Sejak berdiri sampai 2016, KPPU telah menerima laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 sebanyak 2.537 laporan dengan jumlah laporan tertinggi pada tahun 2007 yakni sebanyak 244 laporan, sedangkan yang terendah pada tahun 2000 dengan jumlah laporan sebanyak 7 laporan.

(Baca Juga: Memperkuat ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lewat Aturan Penyalahgunaan Posisi Tawar Dominan)

Kemudian, capaian perkara KPPU di periode yang sama berjumlah 348 perkara dengan kompsisi 245 perkara tender, 55 perkara nontender, dan sebanyak 8 perkara merger. Jumlah penanganan perkara terbanyak di tahun 2008 sebanyak 68 perkara, sedangkan terendah di tahun 2000 sebanyak 2 perkara.

Berturut-turut sejak 2011 sebanyak 13 kasus, 2012 sebanyak 9 kasus, 2013 sebanyak 12 kasus, 2014 sebanyak 19 kasus, 2015 sebanyak 22 kasus, 2016 sebanyak 24 kasus. Berikut rinciannya:
TahunJumlah LaporanJumlah Kasus yang ditangani
2000 7 2
2001 31 5
2002 48 8
2003 58 9
2004 77 9
2005 183 22
2006 139 18
2007 244 31
2008 232 68
2009 204 35
2010 215 42
2011 237 13
2012 212 9
2013 191 12
2014 114 19
2015 136 22
2016 209 24

Kemudian, data KPPU yang lain menyebutkan total nilai tender yang menjadi obyek penanganan perkara di KPPU hingga tahun 2017 adalah sekitar Rp33, 2 triliun dan USD 1 milyar.

Terkait hal ini, pakar hukum persaingan usaha Universitas Indonesia (UI), Kurnia Toha, mengatakan dalam penegakan hukum persaingan usaha, KPPU sebaiknya memiliki fokus. Menurut Kurnia, fokus tersebut sebaiknya diarahkan kepada kasus-kasus yang dampak ekonominya besar.

“Dengan begitu karena tidak terlampau banyak perkara yang diputus pada tingkat ajudikasi, kita harapakan putusan itu jadi lebih berkualitas,” terang Kurnia.

Jadi pada pemeriksaan pendahuluan, sudah dilakukan penyaringan, mana putusan-putusan yang sangat penting dan besar pengaruhnya sehingga bisa dilanjutkan ke proses pengadilan. Sementara putusan-putusan yang dianggap penyelesaiannya ringan, bisa diselesaikan pada pemeriksaan pendahuluan.

(Baca Juga: Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence)

“Bisa disetop pemeriksaannya, bisa juga diberikan denda. Jadi tidak harus sampai dihukum. Sehingga bisa mengurangi perkara di pengadilan sampai 80%,” ujar Kurnia.

Untuk perbandingan, dari putusan KPPU yang diajukan keberatannya oleh pelaku usaha ke Pengadilan Negeri, terdapat 60 putusan yang dibatalkan dan 84 putusan menguatkan putusan KPPU atau 58 % dimenangkan ditingkat Pengadilan Negeri.

Data ini berada dalam rentang waktu tahun 2002 hingga 2017 tahun berjalan dengan jumlah pembatalan putusan terbanyak terjadi di tahun 2011 sebanyak 9 putusan dari total 15 putusan yang dikeluarkan oleh KPPU pada tahun tersbut.

Kemudian untuk perbandingan putusan yang sampai ke tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, dari putusan KPPU atau Pengadilan Negeri, yang kalah saat diajukan pada tahap kasasi sebanyak 35 kasus. Sedangkan yang menang sebanyak 92 kasus atau 72 % dimenangkan di tingkat kasasi MA.

Sementara perbandingan putusan ditingkat Peninjauan Kembali (PK), dari putusan KPPU/MA yang duajukan peninjauan kembali, terdapat 2 kasus yang kalah dan 26 kasus yang menang. Artinya, 93 % dimenangkan di tingkat peninjauan kembali di MA.

Sektor yang dominan dalam perkara KPPU adalah, secara umum porsi terbesar perkara KPPU terletas pada sector jasa konstruksi sebanyak 27%, kemudian diikuti sector Migas, alat kesehataas, dan Peternakan/Pertanian yang masing-masingnya 5%.
Berdasarkan register perkara tahun 2000-2016, akumulasi perkara di:

·         Sektor jasa Kontruksi sebanyak 120 kasus
·         Sektor Pertanian/Peternakan sebanyak 22 kasus
·         Sektor Minyak & Gas (Migas) sebanyak 22 kasus

Sementara untuk eksekusi pembayaran denda atas putusan kasus persaingan usaha:
Telah mencapai Rp462 Milyar dan telah dieksekusi Rp 303 Milyar:

·         2012 sebesar Rp. 8.407.343.000,-
·         2013 sebesar Rp. 15.608.247.000,-
·         2014 sebesar Rp. 9.258.726.000,-
·         2015 sebesar Rp. 15.690.935,000,-
·         2016 sebesar Rp. 22.326.617.000,-

Hingga Mei 2017, jumlah piutang denda sebesar Rp 96.978.173.431,-

Aspirasi Stake Holder
Para stake holder yang terkait dengan proses penegakan hukum persaingan usaha telah banyak memberikan catatan dalam rangka amandemen UU No. 5 Tahun 1999 ini. Ketua Umum Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), Asep Ridwan, dalam acara Grand Launcing ICLA beberapa waktu lalu di Jakarta memberikan beberapa catatannya.

(Baca Juga: Ekstrateritorialitas Penegakan Hukum Persaingan Usaha Sebuah Keniscayaan

Dari aspek formil, Asep mencatat beberapa problem seperti peran KPPU yang besifat multi fungsi. KPPU dapat melakukan pemeriksaan, penuntutan, dan memutus perkara sekaligus. Selain itu, menurut Asep, pengaturan hukum acara yang masih sangat minim di dalam UU No. 5 Tahun 1999 sehingga KPPU sebagai operator mesti mengatur sendiri lewat Peraturan KPPU, termasuk menentukan sendiri sah tidaknya alat bukti yag diajukan.

Asep juga menaruh perhatian terhadap singkatnya jangka waktu pemeriksaan upaya hukum keberatan di Pengadian Negeri dan Mahkamah Agung serta sempitnya ruang gerak bagi pelaku usaha untuk menguji keputusan KPPU.

Dalam draft revisi UU yang telah disiapkan, dapat ditemui ketentuan yang mengatur tata cara melakukan pelaporan yang lebih rigid dari UU sebelumnya. Terdapat pengaturan mengenai proses melakukan pelaporan dan klarifikasi terhadap laporan yang telah masuk. Selain itu terdapat juga ketentuan yang mengatur bahwa KPPU dapat melakukan inisiatif investigasi terhadap adanya dugaan pelanggaran terhadap larangan praktik persaingan usaha tidak sehat.

Salah satu yang menarik juga dari ketentuan yang mengatur tentang tata acara penanganan perkara adalah adanya pengampunan dan atau pengurangan hukuman bagi pelaku usaha yang mengakui dan atau melaporkan perbuatannya yang diduga melanggar ketentuan larangan praktik persaiangan usaha tidak sehat.

Pengaturan lebih jauh dari program pengampuna dana tau pengurangan ini, kemudian akan diatur lebih jauh melalui Peraturan Komisi. Terkait pengampunan atau leniensi program ini, Pakar Hukum Persaingan Usaha Universitas Indonesia (UI), Kurnia Toha, mengatakan hal yang sama.

“Soal leniensi program dalam draft RUU, tidak di jelaskan apakah leniensi ini sampai total,” ujarnya.

Kurnia berpendapat, apabila pelaku usaha yang mengakui atau melaporkan perbuatannya yang diduga melanggar ketentuan larangan praktik persaingan usaha tidak sehat, ternyata sangat membantu bagi pengungkapan kasus maka tidak ada salahnya diberikan pengampunan secara maksimal tergantung pertimbangan majelis komisi.

“Kalau menurut saya sebaiknya tidak dibatasi. Jadi leniensi program itu bisa total bisa juga sekian persen. Tentu ada dasarnya, tapi nanti majelis yang akan menentukan pengurangan sebesar apa yang dilakukan,” terang Kurnia.

Menurut Kurnia, leniensi program merupakan sebuah terobosan penting mengingat banyaknya kasus praktik persaingan tidak sehat di dunia sangat sulit untuk mencari alat bukti sehingga dengan adanya pengakuan akan memudahkan untuk mengadilinya.

“Program ini sangat penting karena perkara-perkara besar di internasional itu bisa terbantu karena liniensi program ini. Apalagi mencari bukti itu sangat sulit. Bukti-bukti dalam persaingan usaha ini sebenarnya sangat sulit. Karena itu gak gampang seharusnya mengadilinya,” pungkas Kurnia.
Tags:

Berita Terkait