Pengadilan Agama: Nikah Beda Agama Tanggung Jawab Pribadi
Utama

Pengadilan Agama: Nikah Beda Agama Tanggung Jawab Pribadi

Nikah beda agama menjadi tanggung jawab masing-masing mempelai kepada Tuhannya tanpa sangkut paut dengan pihak lain. Ada perbedaan norma dalam perundang-undangan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemasangan cincin dalam perkawinan. Foto: ISTIMEWA
Ilustrasi pemasangan cincin dalam perkawinan. Foto: ISTIMEWA

Perkawinan beda agama salah satu persoalan hukum perkawinan yang sering menjadi perdebatan di Indonesia. Perkawinan beda agama terus berlangsung meskipun acapkali dilakukan melalui penyelundupan hukum. Misalnya, melangsungkan perkawinan di luar negeri, lalu mendaftarkannya di Indonesia. Hakim-hakim di pengadilan pun belum seragam memandang keabsahan perkawinan beda agama.

Salah satu peristiwa terbaru yang dapat dijadikan contoh terbaca lewat putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan pada 12 November 2019. Majelis hakim menolak permohonan orang tua dari perempuan yang melangsungkan perkawinan. Ayah mempelai perempuan mengajukan permohonan pencegahan perkawinan puterinya yang beragama Islam dengan seorang pemuda beragama Katholik.

“Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon agar dilakukan pencegahan perkawinan antara Termohon 1 dan Termohon 2 alasannya tidak terbukti, oleh karena itu petitum permohonan Pemohon harus ditolak seluruhnya,” tulis Majelis Hakim dipimpin Raden Ayu Husna Ar dalam putusan yang salinannya diperoleh hukumonline.

Pemohon dalam perkara ini adalah ayah kandung dari Termohon 1. Ada beberapa alasan yang diajukan Pemohon untuk pencegahan perkawinan putrinya yang beragama Islam) dengan Termohon 2 yang beragama Katolik. Mulai dari dalil ayat kitab suci Al Quran, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (telah direvisi dengan UU No. 16 Tahun 2019/UU Perkawinan) hingga ayat dalam Kompilasi Hukum Islam.

Pemohon mengutip fatwa agama dari Majelis Ulama Indonesia, Nahdhatul Ulama, dan Muhammadiyah yang senada bahwa nikah beda agama di Indonesia dianggap haram atau tidak sah. Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan: seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.

(Baca juga: Dispensasi Perkawinan Tetap Dimungkinkan, Begini Syaratnya Menurut UU Perkawinan yang Baru).

Berdasarkan beberapa alasan, orang tua mempelai perempuan mengajukan permohonan pencegahan perkawinan ke PA Jakarta Selatan. Pencegahan perkawinan diatur dalam UU Perkawinan. Pasal 13 menyatakan perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak yang dapat mengajukan permohonan pencegahan adalah anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka yang disebut di sini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan jika salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya.

Tags:

Berita Terkait