Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru Dinilai Belum Jelas
Utama

Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru Dinilai Belum Jelas

Di tengah ketidakjelasan dalam menerapkan masa percobaan dan penjatuhan pidana mati dalam UU 1/2023, disarankan agar pengadilan di Indonesia mengambil sikap tegas menghindari atau antisipasi masalah di kemudian hari termasuk moratorium penerapan pidana mati hingga pengaturannya jelas.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru melalui UU No.1 Tahun 2023 (UU 1/2023) hingga kini menuai beragam pandangan. Di satu sisi, KUHP yang lazim disebut KUHP Nasional tersebut diapresiasi, tetapi tidak sedikit pula yang melancarkan kritik khususnya mengenai Pasal 100 yang mengatur penjatuhan masa percobaan dalam pidana mati selama 10 tahun, sehingga bisa dikonversi menjadi hukuman seumur hidup.  

Ketentuan pidana mati ini kembali dibahas dalam gelaran focus group discussion (FGD) bertajuk “Menjembatani Jurang Kematian: Perlindungan Hak untuk Hidup melalui Kebijakan Perantara (Interim)” di Bandung pada Jum’at 19 Mei 2023 kemarin. FGD ini menghadirkan narasumber dari masyarakat sipil dan akademisi hukum yang memberi pandangannya atas pengaturan pidana mati dalam UU 1/2023. FGD ini bagian dari serangkaian FGD sebelumnya karena dinilai ada kekosongan hukum pengaturan pidana mati dalam UU 1/2023.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan (FH Unpar) Agustinus Pohan menilai semangat pengaturan masa percobaan 10 tahun kepada terpidana mati dalam UU 1/2023 adalah jalan tengah bagi perdebatan penghapusan pidana mati (abolisionis) dan pemberlakuan pidana mati (retensionis). Menurutnya, penerapan masa percobaan dalam vonis atau pidana mati mencerminkan nilai-nilai Pancasila karena berupaya menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat.

Baca Juga:

Kendati demikian, Pohan menilai semangat ini terancam dengan norma dalam Pasal 100 ayat (2) UU 1/2023 yang mewajibkan dimuatnya masa percobaan dalam amar putusan pengadilan. “Jika melihat naskah akademik(dari KUHP baru/UU 1/2023)sebenarnya sudah jelas masa percobaan ini diberikan secara otomatis. Namun sekarang diwajibkan Pasal 100 ayat (2)(UU 1/2023)untuk dimuat dalam putusan. Apakah berarti kalau tidak dicantumkan(dalam amar putusan), tidak ada masa percobaan? Inilah yang jangan sampai terjadi,” terangnya.

Selain dari pelaksanaan masa percobaan yang membutuhkan peraturan pelaksana, Pohan mengusulkan pentingnya peraturan pelaksana bagi kejaksaan dan pengadilan menggunakan pidana mati pasca berlakunya UU 1/2023. Dalam KUHP baru pidana mati dituliskan sebagai pidana yang bersifat khusus. Artinya sebisa mungkin ia tidak digunakan.

Pohan juga mengusulkan beberapa parameter yang dapat digunakan oleh hakim, seperti tidak dijatuhkan atas dasar diskriminasi, tidak ditemukan dugaan pelanggaran hak hukum terdakwa selama proses pidana berlangsung, dan dijatuhkan hanya kepada residivis (pelaku berulang) dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara untuk waktu tertentu.

Tags:

Berita Terkait