Pengaturan Sistem Otorita dalam UU IKN Dinilai Langgar Konstitusi
Utama

Pengaturan Sistem Otorita dalam UU IKN Dinilai Langgar Konstitusi

Berpotensi diuji materi ke MK karena ada ketidakjelasan konsep Otoritanya atau sistem pemerintahan daerah?

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Pimpinan DPR saat pengesahan RUU IKN menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022). Foto: RES
Pimpinan DPR saat pengesahan RUU IKN menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022). Foto: RES

Keinginan Presiden Joko Widodo agar Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi UU disahkan akhirnya terwujud. Setelah DPR dan Pemerintah sepakat menyetujui RUU IKN menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022) kemarin. Namun, materi muatan UU IKN dinilai masih bermasalah. Salah satunya, pengaturan otorita sebagai kedudukan pemerintahan khusus di ibu kota baru, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pengaturan otorita ini dianggap melanggar Konstitusi oleh sebagian kalangan akademisi.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin mengatakan penyelenggara urusan pemerintahan di daerah ibu kota negara bakal menggunakan konsep otorita. Otorita ini diatur dalam Pasal 5 UU IKN. Sayangnya, pengaturan otorita di ibu kota negara sebagai penyelenggara urusan pemerintahan tidak tepat dari aspek konstitusi atau pemerintahan daerah.

Dia mengingatkan keberadaan Pasal 18, 18A ayat (1) dan 18B ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan jenis pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan, meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur, Bupati atau Walikota. Pengaturan pasal-pasal tersebut secara gamblang tidak ada pemerintahan daerah selain provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 18B UUD Tahun 1945 memang mengakui adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus, tapi pengaturannya masih dalam bentuk provinsi maupun kabupaten/kota. Kekhususan tersebut praktiknya seperti pengaturan tentang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Papua, dan Nanggroe Aceh Darussalam.

“Dengan merujuk pada ketentuan tersebut pengaturan bentuk Otorita sebagai penyelenggara pemerintahan daerah (di ibu kota baru, red) yang akan dikepalai oleh Kepala Otorita bertentangan dengan konstitusi,” ujar Muhammad Nur Sholikin saat berbincang dengan Hukumonline, Kamis (20/1/2022). (Baca Juga: Pengesahan UU IKN Dinilai Mencederai Mandar Rakyat)  

Sholikin mengakui dalam sistem pemerintahan daerah memang dikenal otorita yang menjadi salah satu bentuk kawasan khusus. Tetapi, dia mengingatkan bentuk otorita sebagai kawasan khusus tidak menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah. Kewenangannya sebatas pada keterkaitan kepentingan kawasan khusus yang dikelola. Seperti kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas; kawasan hutan lindung; kawasan taman laut; dan sebagainya.

Secara konsep, pengaturan sistem Otorita dalam UU IKN juga tidak sesuai dengan konsep dalam sistem pemerintahan daerah. Dia pun menyoroti soal kedudukan kepala Otorita setingkat menteri, tapi perannya terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah. “Jadi kepala Otorita diberi kewenangan pemerintahan daerah khusus, namun memiliki posisi setingkat menteri,” ujarnya.

Peneliti Senior Pusat Studi Kebijakan Hukum Indonesia (PSHK) itu berpendapat dalam tata pemerintahan dibedakan antara kedudukan kementerian dan lembaga setingkat kementerian dengan penyelenggara pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD, red). Pengaturan kedudukan kepala Otorita sebagai penyelenggara pemerintahan daerah khusus dengan kedudukan setingkat menteri malah menimbulkan kerancuan. “INi berdampak pada pengaturan hubungan Otorita dengan kementerian lain dan pemerintahan daerah lain.”  

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah Pemilihan Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang mengatakan pihaknya sepakat dengan bentuk pemerintahan daerah khusus di IKN baru. Namun terkait dengan istilah dan pengaturan Otorita, DPD belum memahami maksud dari pengaturan tersebut. Sebab, Otorita bukanlah bagian dari jenis pemerintahan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.

Dia merujuk Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur kepala pemerintah daerah terdiri atas Gubernur untuk pemerintah provinsi, Bupati/Walikota untuk pemerintah kabupaten/kota. “Oleh karena itu DPD menilai penggunaan istilah Otorita beserta pengaturan turunannya tidak tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan daerah khusus ibu kota negara,” kata Teras.

Cabang kekuasaan pemerintah

Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Djohermansyah Djohan menjelaskan konsep Otorita merupakan organisasi pemerintah pusat yang pejabatnya mendapat delegasi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan kewenangan tertentu Otorita, bukan daerah atau badan hukum. Otorita memang tidak terdapat dalam Konstitusi, tapi terdapat teorinya.

Sementara daerah, merupakan kesatuan masyarakat hukum pada wilayah tertentu yang diberi hak untuk mengatur diri sendiri. Karenanya, daerah merupakan badan hukum (recht person) yang berhak bertindak secara hukum bagi dirinya sendiri. Kemudian memiliki hak/kekayaan dan kewajiban sendiri sebagai sebuah entitas politik.

Dia menekankan Konstitusi mengatur adanya pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian adanya pemerintahan daerah khusus. Sementara Otorita dalam konteks ibu kota negara hanya menjalankan peran atau perpanjangan tangan pemerintah pusat. Namun lantaran bukan badan hukum, tak boleh membuat keputusan atau kebijakan bagi kepentingan publik. Seperti memungut pajak, retribusi, membuat segala regulasi yang berdampak terhadap publik.

“Nah itulah Otorita, dia hanya cabang kekuasaan pemerintah pusat untuk mengurusi kepentingan pemerintah pusat yang ada di kawasan itu. Kalau di kawasan itu boleh, tapi tidak bisa mengatur kepentingan-kepentingan publik atau rakyat. Nah itu standar Otorita,” ujarnya.

Problemnya, pengaturan penyelenggaraan ibu kota negara dilakukan oleh kepala Otorita sebagai pemerintah daerah khusus berhak menetapkan peraturan bagi penyelenggaraan pemerintah daerah khusus IKN. Dia menilai konsep Otorita yang dituangkan dalam UU IKN terkesan campuran dengan konsep kepala daerah: gubernur, walikota/bupati yang bisa memungut pajak, hingga retribusi. “Jadi ini polanya hybrida.”

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri ini khawatir materi dalam UU IKN ini berpotensi diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya seolah abu-abu antara konsep Otorita dengan pemerintah daerah. Menurutnya, bila hendak menerapkan Otorita, seharusnya menggunakan standar baku Otorita dengan tugas dan kewenangan pelimpahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah khusus terkait urusan pemerintah pusat.

Akan tetapi, Otorita tak dapat mengatur urusan kepentingan rakyat banyak di daerah tersebut. Padahal, konsep pemerintahan daerah mengurusi segala macam persoalan administrasi masyarakat sejak kelahiran hingga kematian. Termasuk soal urusan pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga budaya.

“Jadi ini potensial digugat ke MK karena tidak jelas konsep Otoritanya atau pemerintah daerah?” ujar Presiden Institut Otonomi Daerah (i-Otda) ini.

Tags:

Berita Terkait