Pengurangan Stimulus Moneter Berdampak Negatif pada Indonesia
Berita

Pengurangan Stimulus Moneter Berdampak Negatif pada Indonesia

Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa diperoleh dari UMKM.

FAT
Bacaan 2 Menit
Pengurangan Stimulus Moneter Berdampak Negatif pada Indonesia
Hukumonline

Rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mengurangi stimulus moneter ke negara-negara lain atau yang disebut kebijakan tapering Quantitative Easing (QE) dipercaya bisa berdampak negatif pada sektor keuangan Indonesia. Hal itu diutarakan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo saat membuka diskusi bertema ‘Talkshow Klaster Unggulan dan Diseminasi Pola Pembiayaan UMKM’ di Jakarta, Jumat (13/9).

Meskipun awalnya rencana tersebut belum terasa di Indonesia, kata Agus, BI perlu mengantisipasinya. Terlebih lagi, kondisi perekonomian dunia akhir-akhir ini belum pulih dari krisis. “Sektor keuangan kita ada yang bisa terdampak dan perlu diperhatikan kebijakan The Fed itu. Sekarang sudah ada gejolak rupiah," katanya.

Terlebih lagi, lanjut Agus, selama dua tahun terakhir banyak komoditas andalan ekspor Indonesia harganya menurun. Sebut saja pada tahun 2012, rata-rata harga komoditas andalan Indonesia menurun hingga 18 persen sampai 19 persen. Pada tahun ini, turun sekitar 13 persen sampai 14 persen. Untuk tahun 2014, ia memperkirakan masih akan menurun. Menurutnya, penurunan ini akan semakin membuat tekanan terhadap perekonomian dalam negeri.

Menurunnya harga komoditas ekspor ini berimbas pada kemampuan ekspor Indonesia ke luar negeri. Sejalan dengan itu, impor Indonesia semakin tinggi sehingga tekanan terhadap Indonesia khususnya pada nilai tukar semakin terasa. Menurut Agus, persoalan-persoalan ini tak bisa diselesaikan dalam waktu dekat.

Situasi ini, jelas Agus, semakin menciptakan inflasi yang tinggi di dalam negeri. Tingginya inflasi dikhawatirkan dapat menekan rakyat. “Inflasi tinggi ini harus diwaspadai, jangan terus meinggi, karena akan menggerus pendapatan rakyat Indonesia, khususnya rakyat yang berpenghasilan tetap,” katanya.

Menurutnya, jika laju inflasi tak dijaga dengan baik, maka inflasi tahun ini bisa melebihi 9,8 persen. Sebaliknya, jika pengendalian inflasi dapast dijaga dengan baik, maksimal inflasi tahun ini berada pada angka sembilan persen. “Ini tantangan yang harus dihadapi. Sebelumnya inflasi sudah baik, sebesar 3,8 persen (2011) dan 4,3 persen (2012),” ujarnya.

Salah satu jalan keluar dari persoalan ini adalah penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam negeri. Digenjotnya UMKM nantinya bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. “Unit organisasi itu 99 persen adalah UMKM, satu persennya unit usaha besar. Jadi dominasi Indonesia oleh UMKM,” kata Agus.

Bahkan, lanjut Agus, sumbangan UMKM pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 56 persen. Untuk penyediaan lapangan kerja, UMKM sendiri menyumbang 91 persen di Indonesia. “Kegiatan UMKM bukan berarti harus usahanya kecil, harus bisa usahanya besar. Kita semua bersinergi untuk bisa tumbuh kembangkan usaha kita sehingga tingkatkan kesejahteraan rakyat,” katanya.

Sementara itu, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, rencana kebijakan QE oleh The Fed membuat bank-bank di negara maju saat ini mulai mengurangi stimulus moneternya. Hal itu diperoleh dari hasil pantauan BI. “Tapering The Fed terus kami monitor. Ada kecenderungan bank-bank di negara maju mulai mengurangi stimulus moneter mereka,” katanya.

Di saat yang sama, kata Perry, BI juga melihat adanya kecenderungan kenaikan suku bunga internasional dan perlambatan ekonomi global. Bukan hanya itu, perubahan geopolitical di dunia juga menyumbang gejolak ekonomi global. “Itu hasil yang kami pantau. Dan kami melihat juga perubahan geopolitical secara dunia. Dampaknya terhadap minyak dunia, terhadap komoditas. Itu yang kami lihat,” pungkasnya.

Tags: