Pengusaha Gugat UU yang Mengenakan Pajak atas Pengalihan Harta Waris
Utama

Pengusaha Gugat UU yang Mengenakan Pajak atas Pengalihan Harta Waris

Upaya Ditjen Pajak untuk menjadikan pemindahan hak karena waris sebagai obyek pajak kini mendapat tantangan. Kalangan pengusaha mempersoalkannya ke Mahkamah Konstitusi lewat judicial review.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pengusaha Gugat UU yang Mengenakan Pajak atas Pengalihan Harta Waris
Hukumonline

 

Seorang pengacara korporasi di Jakarta yang enggan disebut namanya juga mengemukakan adanya masalah dalam klausul yang menjadikan peralihan harta waris sebagai objek pajak. Pengalihan hak karena waris itu kan tidak dikehendaki, beda dari pengalihan hak lainnya, ujar advokat yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan itu.    

 

Status hak pengelolaan dan HGB

Selain masalah pengenaan pengalihan harta waris sebagai obyek pajak, pemohon juga mempersoalkan ketentuan Undang-Undang No. 20/2000 mengenai status hak pengelolaan, tata cara pengenaan BPHTB, status Hak Guna Bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan (HPL), dan ketidakseragaman proses peralihan hak.

 

Mengenai status HPL, kedua Undang-Undang BPHTB menjadikan HPL sebagai hak atas tanah yang menjadi obyek pajak. Cuma besarannya naik dari 25 persen menjadi 50 persen. Selain mempersoalkan kenaikan prosentase tadi, pemohon menganggap status HPL dalam Undang-Undang No. 20/2000 bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasalnya,  di UUPA HPL bukan sebagai hak atas tanah, melainkan hak menguasai dari negara. Jadi, statusnya adalah hak publik. Konsekuensinya, HPL memberi wewenang untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah serta menyerahkan bagian-bagian tanah itu kepada pihak ketiga.

 

Secara khusus pemohon judicial review meminta agar pasal 24 ayat (2a) Undang-Undang No. 20/2000 dihapuskan. Permohonan serupa sudah pernah disampaikan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, Maret 2001 lalu. Alasannya, ketentuan ini menghambat program kerja BPN tentang sertifikasi tanah. Berdasarkan pasal ini, surat keputusan pemberian hak atas tanah baru dapat diberikan jika sudah ada bukti setoran pembayaran BPHTB.

 

Pemohon juga menyinggung ketentuan Undang-Undang No. 20/2000 mengenai status HGB di atas HPL. Lewat sejumlah surat, pihak Ditjen Pajak berpendapat pemberian HGB di atas HPL termasuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak yang menjadi obyek pajak BPHTB (pasal 2 ayat 2b). Pada dasarnya pengenaan BPHTB atas perolehan HGB di atas HPL tidak dibeda-bedakan, apakah merupakan pemberian hak baru di atas tanah negara atau merupakan pembebanan hak.

 

Nah, menurut pemohon, pemikiran Ditjen Pajak itu tidak sejalan dengan UUPA, Peraturan Pemerintah dan Surat Meneg Agraria/Kepala BPN. Menurut ketentuan-ketentuan ini, status HGB di atas HPL bukan perolehan hak baru karena merupakan kelanjutan pelepasan hak (pembebasan) atau di luar pelepasan hak (tanah negara). Jadi, status HGB di atas tanah negara dengan HGB di atas HPL mempunyai substansi yang berbeda, antara hak perdata dengan hak pemanfaatan/sewa tanah jangka waktu panjang.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan akhirnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah Marto Sumartono, seorang pengusaha, yang memohonkan judicial review atas Undang-Undang tersebut. Meski kurang mendapat perhatian khalayak, sidang perdana pemeriksaan permohonan Marto sudah dimulai Rabu (7/7) kemarin di gedung MK.

 

Pemohon mendalilkan bahwa ada sejumlah masalah hukum yang berdampak bagi kalangan pengusaha dalam Undang-Undang No.20/2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Salah satu contoh adalah ketentuan Pasal 2 yang memasukkan pemindahan hak karena waris sebagai obyek waris. Menurut pemohon, ini merupakan klausul baru yang tidak terdapat pada UU BPHTP tahun 1997.

 

Ketentuan itu terkesan dipaksakan. Namanya ahli waris sudah kena musibah, tapi terus dipaksa untuk bayar pajak. Itu sudah nggak benar, nggak manusiawi, tandas Marto kepada hukumonline usai sidang.

Tags: