Pengusaha Minta Pemerintah Jangan Terpaku Penindakan
Bencana Asap:

Pengusaha Minta Pemerintah Jangan Terpaku Penindakan

Ada regulasi yang dapat menimbulkan multitafsir.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Pengusaha Minta Pemerintah Jangan Terpaku Penindakan
Hukumonline
Bencana kabut asap akibat pembakaran hutan di sejumlah wilayah Indonesia kian mengkhawatirkan. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Lingkungan Hidup Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan (LHPIPB) menilai terjadinya kebakaran hutan dan kabut asap hingga menyebabkan kerugian materil dan imateril bagi warga termasuk warga di sejumlah negara tetangga Indonesia merupakan dampak dari ketidakpatuhan pengusaha dan petani berbasis lahan terhadap regulasi yang tidak mudah diserap oleh masyarakat umum.

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang LHPIPB Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, regulasi yang tidak dipahami dengan baik oleh publik, kurangnya pengawasan dan pemahaman terhadap akar permasalahan menyebabkan penanganan terhadap kebakaran hutan dan kabut asap yang setiap tahun terjadi di Indonesia hanya terfokus pada penindakan. “ kata Shinta dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Jumat (18/9).

Menurut Shinta, perlu ada analisis masalah dan mekanisme yang jelas terkait langkah-langkah pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Ia melihat sejauh ini pemerintah hanya terpaku pada penindakan dan penanggulangan setelah ada kejadian. Upaya tersebut dinilai kurang efektif.

Shinta memberi contoh lemahnya pengawasan pada perusahaan yang telah memiliki HGU terutama untuk mekanisme pembukaan lahan. Jika pemerintah memiliki sistem pengawasan untuk pemilik HGU, maka kemungkinan pelanggaran dalam pembukaan lahan dapat teridentifikasi dengan cepat dan kebakaran bisa dicegah. Sistem ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengerti akar permasalahan dari praktek membuka lahan dengan membakar khususnya oleh pengusaha kecil maupun petani, misalnya kurangnya akses pendanaan atau kapasitas pengelolaan lahan yang baik.

Masalahnya, ada regulasi yang dapat menimbulkan celah multitafsir hingga diinterpretasikan berbeda dan perlu dikritisi. Ia mencontohkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 69 ayat (1) UU PPLH menyebutkan setiap orang dilarang; (h) melakukan pembukaan lahan secara dibakar. Ayat (2) dalam pasal yang sama menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) huruf h memperlihatkan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing. 

Bagian Penjelasan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kearifan lokal pada pasal 69 ayat (2) adalah melakukan pembakaran lahan dengan  luas lahan maksimal 2 hektar per-kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. “Hal-hal seperti inilah yang dikhawatirkan akan digunakan oknum pengusaha dan petani yang melakukan pembakaran hutan dengan dalih pembenaran UU tersebut”, tambah Shinta.

Meski ada segelintir pengusaha dan petani yang tidak mengadopsi semangat perlindungan lingkungan dalam mengelola bisnisnya, namun faktanya banyak perusahaan-perusahaan yang telah memiliki komitmen dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan sebagai bagian dari praktek pertanian berkelanjutan dalam proses bisnisnya dengan komitmen ‘no-burn policy’. Hal ini tentunya sebagai bagian dari upaya meningkatkan daya saing mereka di tataran lokal khususnya global.

Beberapa perusahaan juga kini telah mengadopsi konsep restorasi ekosistem yang dapat dimanfaatkan sebagai ‘buffer-zone’ untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan secara tidak langsung. Restorasi ekosistmen memungkinkan masyarakat di sekitar hutan untuk memanfaatkan seluruh potensi hutan bagi kesejahteraan sekaligus menjaga kualitas lingkungan hutan itu sendiri.

“Hal seperti ini juga sangat perlu dukungan dari pemerintah hingga memungkinkan pengusaha dan petani beralih dari model bisnis tradisonal dan mengadopsi konsep bisnis yang sustainable. Hingga saat ini sudah ada 13 perusahaan di Indonesia yang menjalankan konsep restorasi ekosistem dan tentunya harus terus didorong untuk peningkatakan jumlahnya. Akan lebih baik jika penggunaan APBN difokuskan bagi upaya pencegahan dibandingkan dengan penanggulangan saat kejadian”, tutup Shinta.

Sementara itu Direktur Eksekutif Walhi, Abetnego Tarigan menilai penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan acapkali mentah. Berkas perkara bolak-balik kerap menjadi persoalan. Lambannya penegakan hukum berujung tidak jelasnya penanganan perkara kebakaran hutan. Oleh karena itu, Polri menjadi ujung tombak dalam penegakan hukum diminta serius agar dapat membongkar mafia pembakar hutan.

“Problemnya itu di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan itu sendiri. Maka tidak jarang PPNS menyerahakan perara ke kepolisian kemudian menyerahkan berkas perkara ke kejaksaan, dan malah bolak balik berkas perkara. Artinya prosesnya itu sangat lambat,” ujarnya dalam sebuah diskusi di gedung Parlemen, Jumat (18/9).

Menurutnya, penegakan hukum dalam penanganan kasus kebakaran hutan mesti diperkuat. Meski pun pemerintah sudah mengerahkan sejumlah personil dari berbagai elemen hingga TNI, Polri dalam penegakan hukum mesti tidak pandang bulu. Perusahaan yang sudah jelas terbukti melakukan penyalahgunaan perizinan, maka mesti ditindak tegas. Setidaknya, perkaranya segera dilimpahkan ke pengadilan.
Tags: