Pentingnya Digagas UU Perlindungan Data Pribadi
Berita

Pentingnya Digagas UU Perlindungan Data Pribadi

Mendorong agar DPR dan pemerintah segera merancang dan merumuskan UU khusus bagi perlindungan data pribadi karena aturan yang saat ini dinilai masih tumpah tindih, sehingga perlindungan data pribadi tidak optimal.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Tumpah tindih

Deputi Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar berpendapat munculnya kasus bocornya data pribadi akibat berlakunya kebijakan registrasi ulang SIM Card dengan data NIK dan KK terhadap pengguna layanan telepon genggam, menunjukan buruknya perlindungan data pribadi selama ini. Terlebih, tidak adanya UU khusus yang mengatur perlindungan data pribadi menjadikan masyarakat khawatir.

 

Karena itu, Wahyudi mendorong agar DPR dan pemerintah segera merancang dan merumuskan UU khusus bagi perlindungan data pribadi. “Mempercepat proses perancangan dan perumusan RUU Perlindungan Data Pribadi, untuk segera dilakukan proses pembahasan bersama dengan DPR,” harapnya.

 

Menurut Wahyudi, ada tiga hal yang menjadi penyebab rawannya bocornya data pribadi. Pertama, rendahnya kesadaran publik dalam menjaga dan melindungi data pribadi. Kedua, belum adanya perangkat undang-undang memadai untuk melindungi data pribadi, khususnya terkait kewajiban pengumpul dan pengelola data. Ketiga, masifnya praktik pengumpulan data secara massal yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta baik atas sepengetahuan pemilik data maupun tidak.  

 

“Berdasarkan kajian Elsam, terdapat tumpang tindih dan tidak ada sinkronisasi aturan mengenai perlindungan data pribadi di Indonesia."

 

Meski Kemenkominfo telah menerbitkan Permenkominfo No.20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, namun tak menjamin tidak bocornya data seseorang ke publik. Sebab, banyak persoalan mulai pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan dan penggunaan data pribadi yang ada. “Sulit kalau hanya Permenkominfo itu sebagai rujukan dalam memberi perlindungan data pribadi.”

 

Wahyudi mengutip Pasal 6 Permenkominfo 20 Tahun 2016 yang menyebutkan, “Penyelenggara Sistem Elektronik yang melakukan proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyediakan formulir persetujuan dalam Bahasa Indonesia untuk meminta Persetujuan dari Pemilik Data Pribadi yang dimaksud”. Sekilas, rumusan pasal tersebut cukup baik. Namun praktiknya, kewajiban tersebut pada umumnya tidak dilaksanakan.

 

“Belum lagi, sanksi dari Permenkominfo yang hanya memberi ancaman sanksi administratif, tanpa adanya kejelasan aturan mengenai pemulihan terhadap korbannya,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait