Penunjukan Gatot dan Sutiyoso Menuai Kritik
Utama

Penunjukan Gatot dan Sutiyoso Menuai Kritik

Presiden Jokowi mesti memahami ‘kebiasaan’ yang sudah berulang kali menjadi hukum yang berlaku tidak tertulis.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Benny K Harman (kanan). Foto: SGP
Benny K Harman (kanan). Foto: SGP
Usulan Presiden Joko Widodo terhadap Letjen Gatot Nurmantyo menjadi calon Panglima TNI dan Letjen (purn) Sutiyoso menjadi Kepala BIN menuai kritik dari anggota dewan dan Kontras. Selain alasan mengabaikan konvensi ketatanegaraan, penunjukan dinilai bersifat politis balas budi.

Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman berpandangan, usulan Gatot menjadi calon Panglima TNI mengabaikan tradisi menggilir dari ketiga angkatan, darat, laut dan udara. Meski Pasal 13 ayat (4) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi hak prerogratif presiden, namun kebiasaan yang sudah dimulai sejak era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi konvensi ketatanegaraan yang tidak tertulis.

“Ini tidak sesuai dengan konvensi ketatanegaraan semangat reformasi,” ujarnya di Gedung DPR, Rabu (10/6)

Frasa ‘dapat’ dalam Pasal 13 ayat (4) memang tidak bersifat mutlak pejabat Panglima TNI dilakukan secara bergiliran. Hanya saja, praktik pergantian pejabat Panglima TNI selama sepuluh tahun sudah menjadi konvensi ketatanegaraan. Malahan dengan dilakukan secara bergantian kondisi negara relatif kondusif.

“Praktik ketatanegaraan ini sudah diterima, walaupun tidak tertulis, tapi sudah berkali-kali diterapkan,” ujarnya.

Meski Benny menyadari tindakan presiden tidak melanggar UU TNI, mestinya tradisi tersebut menjadi perhatian Presiden Jokowi. Menurutnya, DPR perlu menyampaikan secara terbuka kepada presiden terkait konvensi ketatanegaraan. Selain itu, presiden Jokowi diminta menjelaskan alasan mengubah konvensi ketatanegaraan yang sudah lazim dilakukan selama lima belas tahun.

Koordinator Kontras Haris Azhar mempertanyakan proses pencalonan Gatot sebagai Panglima TNI dan Sutiyoso sebagai calon Kepala BIN. Menurut Haris, pencalonan keduanya dinilai adanya ketidakjelasan alasan dan integirtas calon Kepala BIN. Dalam pencalonan Panglima TNI misalnya, penunjukan Gatot dari kesatuan angkatan darat mengganggu kebiasaan rotasi antar kesatuan.

“Saat ini sesuai kebiasaan adalah 'jatah' kesatuan Angkatan Udara,” ujarnya dalam siaran persnya.

Namun, Presiden Jokowi justru menunjuk Gatot yang kini menjabat Kepala Staf Angkatan Darat untuk menjadi Panglima TNI. Haris tidak menampik tidak adanya aturan mutlak dalam UU TNI terkait rotasi pejabat Panglima TNI. Namun Presiden Jokowi, kata Haris mesti memahami ‘kebiasaan’ yang sudah berulang kali menjadi hukum yang berlaku tidak tertulis.

“Dan ada tujuan di balik kebiasaan tersebut dibuat. Oleh karena itu jika kebiasaan ini dihilangkan, maka harus dijelaskan apa tujuannya,” ujarnya.

Terkait dengan calon Kepala BIN, Haris berpandangan penunjukan Sutiyoso beraroma politis. Malahan Jokowi sekadar balas budi kepada Sutiyoso terkait dalam Pilpres 2014 lalu. Maklum, Partai yang dinahkodai Sutiyoso mendukung Jokowi pada saat Pilpres 2014 lalu. Padahal, Presiden memiliki kesempakan menunjuk nama lain yang lebih berpengalaman dan bebas dari polemik.

“Sutiyoso, adalah mantan Panglima Kodam Jaya saat peristiwa 27 Juli, pernah menjadi Gubernur Jakarta dimana banyak kasus penggusuran dan alih lahan yang menyebabkan banjir dan hilangnya hak warga kota Jakarta. Keputusan Joko Widodo menunjuk Sutiyoso memiliki nilai rendah,” katanya .

Bagi Kontras, kata Haris, TNI maupun BIN memiliki peran dan tugas yang signifikan dalam berbagai dimensi. Misalnya dimensi demokrasi, keduanya memiliki catata hitam di masa lalu. Bahkan BIN, kata Haris pernah dijadikan instrumen  dalam operasi upaya pembunuhan Munir, seorang pegiat hak asasi manusia.

Begitu pula dengan TNI. Ia menilai masih banyak purnawirawan TNI bersembunyi di balik institusi TNI untuk menghidar dari tanggungjawab atas sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia.  Terhadap penunjukan kedua calon pejabat itulah Kontras meminta Presiden Jokowi memberikan penjelasan kepada publik atas penunjukan terhadap kedua calon tersebut.

“Untuk itu Joko Widodo perlu sadar dan paham dengan konteks tersebut. Apalagi janji penyelesaian kasus-kasus diatas tidak konkrit. Untuk itu, kami meminta agar Presiden Joko Widodo menjelaskan secara baik kenapa memilih KSAD untuk menjadi Panglima TNI?. Kemudian, Joko Widodo juga harus mencari nama lain selain Sutiyoso untuk menjadi Kepala BIN,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait