"Menyatakan terdakwa Doddy Aryanto Supeno terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Doddy Aryanto Supeno penjara selama empat tahun dan denda Rp150 juta," kata Ketua Majelis Hakim, Sumpeno dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Rabu (14/9).
Putusan itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta agar Doddy divonis pidana penjara selama lima tahun ditambah pidana denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Baca Juga: Pansek PN Jakpus Tersangka, KPK Sebut Ini Pembuka Kasus Besar)
Dalam perkara ini, Doddy menyuap Edy Nasution untuk untuk melancarkan dua perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakarta Pusat. Pertama, agar menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Kwang Yang Motor Co. LtD (PT Kymco) dengan imbalan Rp100 juta dan terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) perkara Niaga PT Acoss Asia Limited (AAL) melawan PT First Media meski sudah melewati masa waktu mengajukan PK dengan imbalan Rp50 juta.
Pada perkara pertama, berdasarkan putusan Singapore International Arbitration Center (SIAC) tertanggal 1 Juli 2013, PT MTP melakukan wanprestasi dan wajib membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar AS$11,1 juta. Namun PT MTP belum melakukan kewajibannya sehinga PT KYMCO pada 24 Desember 2013 mendaftarkannya ke PN Jakpus agar segera dieksekusi. Atas pendaftaran tersebut PN Jakpus menyatakan putusan SIAC dapat dieksekusi di Indonesia. (Baca Juga: Panitera PN Jakpus Didakwa Urus Tiga Perkara Dibantu Nurhadi)
Namun PT MTP tidak hadir saat dipanggil PN Jakpus pada 1 September 2015 sehingga dipanggil ulang pada 22 Desember 2015. Eddy memerintahkan bagian legal PT Artha Pratama Anugerah, Wresti Kristian Hesti untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Wresti pun pada 14 Desember menemui Edy Nasution pada 14 Desember 2015 dan meminta penundaan. Atas permintaan itu Edy Nasution mendapatkan uang Rp100 juta yang dikeluarkan Direktur PT MTP, Hery Soegiarto. Uang diberikan oleh Doddy kepada Edy Nasution pada 18 Desember di basement Hotel Acacia Senen, Jakarta Pusat.
"Sudah terjadi penyerahan uang Rp100 juta dari terdakwa kepada saksi Edy Nasution. Menimbang saksi Edy Nasution juga mencabut BAP yang menyatakan bahwa Rp100 juta itu sebagai hadiah pernikahan anak Eddy tapi pada faktanya Rp100 juta digunakan untuk penundaan aanmaning PT MTP melawan PT Kymco dan ada bukti penggunaan uang tersebut yang ditemukan di laci saksi Edy Nasution dan sisa uang Rp8.050.000 maka pencabutan BAP tidak menghapus tindak pidana tersebut dan tidak dapat dibenarkan secara hukum. Mengenai alasan bahwa uang itu adalah fee pengacara juga harus dikesampingkan karena tidak pernah dibicarakan oleh Edy Nasution dan Wresti," kata anggota majelis hakim Tuti.
Perkara kedua, terkait pengajuan PK perkara Niaga PT AAL melawan PT First Media. Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung 31 Juli 2013 PT AAL dinyatakan pailit. Atas putusan kasasi tersebut hingga batas waktu 180 hari PT AAL tidak melakukan upaya PK. Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hong Kong, Eddy Sindoro pada pertengahan Februari 2016 memerintahkan Wresti melakukan pengajuan PK meski waktunya sudah lewat.
Wresti menemui Edy Nasution pada 16 Februari untuk menerima pendaftaran PK PT AAL dan menawarkan sejumlah uang sehingga pada 30 Maret 2016 berkas PK Perkara niaga AAL dikirim ke Mahkamah Agung. Sebelum berkas perkara dikirim, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi selaku Sekretaris Mahkamah Agung yang meminta agar berkas perkara niaga PT AAL segera dikirim ke MA.
Edy Nasution juga dinilai terbukti juga membantu Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International yang juga direktur PT Jakarta Baru Cosmopolitan Ervan Adi Nugroho terkait putusan eksekusi permohonan eksekusi putusan Raad Van Yustitie di Jakarta tanggal 12 Juli 1940 No 232/1937. (Baca Juga: Merangkai Kepingan “Puzzle” Nurhadi, Bos Paramount, dan Lippo Group)
Pada bulan November 2015, Ervan Adi Nugroho selaku pemilik lahan bermasalah memperoleh surat PN Jakarta Pusat perihal permohonan eksekusi lanjutan yang belum didistribusikan. Atas surat tersebut Ervan meminta Wresti untuk mempelajarinya atau menunda pelaksanaan putusan tersebut dengan meminta tolong kepada Edy Sindoro.
Kemudian Wresti Kristian Hesti mempelajari surat tersebut dan menyampaikan hasilnya kepada Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho yang intinya bahwa pada kalimat akhir surat tersebut isinya harus disamakan dengan surat PN Pusat terdahulu dengan mengubah kalimat dalam surat tersebut dari "belum dapat disekskusi" diganti dengan "tidak dapat dieksekusi".
Wresti selanjutnya menemui Edy Nasution dan menyampaikan permintaan Ervan Adi Nugroho untuk memending pelaksanaan eksekusi putusan tersebut kepada Edy Nasution atas permintaan tersebut Edy Nasution menyampaikan bahwa surat tersebut belum dikirim ke mana-mana.
“Terdakwa sudah membuat kesepaktan tersembunyi dengan Edy Nasution sehingga unsur berbuat atau tidak berbuat sesuatu telah terbukti dalam perbuatan terdakwa," kata Tuti.
Atas putusan tersebut, baik penuntut umum KPK maupun Doddy, sama-sama menyatakan pikir-pikir.