Penyusunan RUU Kesehatan Wajib Melibatkan Partisipasi Publik Secara Bermakna
Terbaru

Penyusunan RUU Kesehatan Wajib Melibatkan Partisipasi Publik Secara Bermakna

Agar meminimalisir terulangnya seperti UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. DPR dan pemerintah harus membuka pintu seluas-luasnya terhadap publik untuk memberikan masukan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sejumlah organisasi profesi tenaga kesehatan serentak menolak keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan. Rencana penyusunan bakal menggunakan metode omnibus law menjadi satu dari sekian alasan penolakan terhadap RUU Kesehatan. Penolakan itu pun diluapkan dengan menggelar aksi demonstrasi di depan gerbang Gedung DPR.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris berpandangan penolakan dari sejumlah organisasi tenaga kesehatan yang menjadi pemangku kepentingan di sektor kesehatan terhadap RUU Kesehatan menandakan ada persoalan substansi dalam RUU tersebut. Persoalan substansi RUU biasanya terkait dengan materi muatan, naskah akademik, pasal dan transparansi penyusunan produk legislasi, serta ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law.

Karena itu, DPR bersama pemerintah mesti merespon dengan bijak soal penolakan dari berbagai organisasi profesi tenaga kesehatan. Menurutnya, respon DPR dan pemerintah perlu mengedepankan partisipasi masyarakat secara bermakna. Seperti mendengarkan alasan penolakan, meminta masukan secara optimal, serta solusi jalan tengah dalam menghadapi penolakan tersebut agar menemukan titik temu dari persoalan.

Baginya, pelibatan elemen masyarakat dan organisasi profesi tenaga kesehatan secara bermakna dalam penyusunan RUU Kesehatan semestinya dibuat seluas-luasnya. Mulai dari tahap usulan RUU, pembahasan antara DPR dan pemerintah hingga pengambilan keputusan persetujuan bersama antara DPR dan presiden. Langkah tersebut ditempuh agar tak mengulang proses penyusunan, pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja hingga menjadi UU No.11 Tahun 2020 yang berujung uji materi di MK dengan putusan inskonstitusional bersyarat.

“Jangan sampai setelah disahkan, dinyatakan cacat formil karena dalam proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal atau bermakna sebagai salah satu syarat pembentukan UU yang baik. Mumpung masih dalam proses pembahasan, buka partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembentukan RUU Kesehatan,” ujarnya melalui keterangannya, Selasa (29/11/2022).

Senator asal DKI Jakarta itu melanjutkan partisipasi publik secara bermakna pun mesti memastikan terpenuhinya hak publik mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan terhadap berbagai hal yang dianggap meragukan dan merugikan publik dalam RUU Kesehatan. Menurutnya, dalam mendukung perbaikan sistem kesehatan sedianya bakal diatur dalam RUU Kesehatan. Seperti pemerataan dokter spesialis di berbagai daerah. Karena itulah menjadi penting RUU Kesehatan dibuat dalam meningkatkan derajat kesehatan bangsa.

Wakil Ketua Umum II Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa berpandangan aksi unjuk rasa yang digelar bersama 5 organisasi profesi tenaga kesehatan yang intinya menolak RUU Kesehatan. Sementara IDI memiliki alasan penolakan tersebut. Pertama, lahirnya sebah RUU mesti melalui prosedur secara terbuka ke publik. Sementara pembahasan RUU Kesehatan di DPR dinilai terkesan tertutup dan terburu-buru. Pemerintah seolah menutup pintu rapat yang berujung tak dapat mengakses agenda utama pembahasan RUU Kesehatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait