Beberkan 11 Pasal Bermasalah, YLBHI Minta RUU KUHP Tidak Buru-buru Disahkan
Utama

Beberkan 11 Pasal Bermasalah, YLBHI Minta RUU KUHP Tidak Buru-buru Disahkan

DPR dan pemerintah lebih baik tidak mengesahkan RUU KUHP sebelum masa reses. Harus dibuka ruang yang luas untuk melakukan diskusi mendalam bersama masyarakat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah dan DPR bersiap untuk segera mengesahkan RUU KUHP. Koalisi masyarakat sipil melihat RUU KUHP yang akan disahkan itu masih memuat berbagai ketentuan yang berpotensi menuai persoalan yang berdampak terhadap masyarakat. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mencatat ada 11 ketentuan RUU KUHP yang masih bermasalah.

Pertama, pasal terkait living law. Ketentuan dalam RUU KUHP terkait living law berbahaya karena berpotensi semakin memudahkan kriminalisasi. Ketentuan living law lebih lanjut akan diatur dalam peraturan daerah. “Perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal ini, sebab selama ini masih banyak terdapat perda diskriminatif,” kata Isnur saat dikonfirmasi, Senin (28/11/2022).

Baca Juga:

Kedua, ketentuan pidana mati. Isnur menilai legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup yang melekat sebagai karunia yang tidak dapat dikurangi atau dicabut oleh siapapun termasuk negara. Pidana mati harus dihapus karena dalam sejumlah kasus membuktikan pidana mati menimbulkan korban salah eksekusi.

Ketiga, perampasan aset untuk denda individu. Menurut Isnur, hukuman kumulatif berupa denda semakin memiskinkan masyarakat yang sudah miskin. Pasal itu memperkuat posisi penguasa. Hukuman kumulatif merupakan metode kolonial dan menjadi ruang bagi negara untuk memeras rakyat.

Keempat, pasal penghinaan presiden yang selama ini disorot koalisi sebagai pasal anti kritik. Ketentuan itu mengatur masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pidana. Kelima, begitu juga dengan pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah. “Pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial,” ujar Isnur.

Keenam, pengaturan contempt of court dalam RUU KUHP memposisikan hakim di ruang persidangan seperti dewa. Padahal selama ini di dalam persidangan masyarakat kerap menemui hakim yang berpihak. Jika aturan ini disahkan, dan pada saat dinilai tidak hormat kepada hakim atau persidangan maka dapat dianggap sebagai penyerangan integritas pengadilan. “Pasal ini berbahaya bagi advokat, saksi, dan korban,” bebernya.

Tags:

Berita Terkait