Penundaan Pembahasan, Momentum Mendalami Perbaikan Draf RKUHP
Terbaru

Penundaan Pembahasan, Momentum Mendalami Perbaikan Draf RKUHP

Sejumlah pasal-pasal krusial dalam RKUHP masih perlu mendapat perbaikan agar tidak menimbulkan persoalan dalam penerapannya di kemudian hari.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sedianya pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) DPR mengagendakan pembahasan pada Senin (21/11/2022) dan Selasa (22/11/2022). Tapi pemerintah meminta penundaan pembahasan. Penundaan semestinya dijadikan momentum menyerap masukan, memilah dan mengakomodir aspirasi publik dalam draf RKUHP. Diharapkan RKUHP saat disahkan menjadi UU tak memiliki persoalan dalam implementasinya di kemudian hari.

“Penundaan ini bagus, sehingga fraksi di DPR memiliki waktu memperdalam berbagai aspirasi yang disampaikan masyarakat,” ujar anggota Panja RKUHP Taufik Basari melalui keterangannya, Selasa (22/11/2022).

Dia menilai penundaan mesti dijadikan momentum fraksi-fraksi partai di Komisi III memperbaiki draf RKUHP. Sebab, fraksi-fraksi partai dipastikan bakal menampung banyak aspirasi dari berbagai elemen masyarakat. Berbagai masukan tersebut menjadi bahan agar dipertimbangkan dapat diakomodir dalam perbaikan norma RKUHP.

Sebagian kalangan publik masih menilai draf RKUHP teranyar masih terdapat sejumlah pasal-pasal yang menjadi kontroversi. Karena itulah, momentum penundaan mesti dimanfaatkan dalam menyempurnakan pasal-pasal yang masih menjadi polemik. Dengan begitu, Panja RKUHP di DPR dapat memastikan tak ada pasal-pasal yang berpotensi bermasalah ke depannya nanti. Setidaknya meminimalisir adanya uji materi pasal-pasal dalam KUHP nasional ke Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi III DPR itu menerangkan berdasarkan rapat pada Kamis (3/11/2022) dan Rabu (9/11/2022) ternyata masih terdapat sejumlah isu krusial yang mesti dikaji mendalam. Sebagaimana diketahui, tim penyusun pemerintah menetapkan 14 isu krusial dalam draf RKUHP yang mesti diperdalam bersama dengan DPR. Antara lain isu hukum yang hidup di tengah masyarakat atau living law.

Bagi kalangan pegiat hukum pidana, penerapan living law dalam RKUHP berpotensi melanggar asas legalitas. Kemudian, pasal-pasal terkait dengan demokrasi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Bagi pria disapa Tobas itu, pengaturannya mesti dibatasi dalam aspek definisi. Seperti pembatasan pengertian makar, penyerangan kehormatan harkat martabat presiden dan wakil presiden.  Begitu pula pengertian penghinaan lembaga negara dan penghinaan kekuasan umum.

Selanjutnya, tentang penghinaan terhadap lembaga peradilan alias contempt of court. Khususnya soal publikasi persidangan di pengadilan secara live. Begitu pula pengaturan tentang tindak pidana rekayasa kasus sebagaimana usulan terbaru dari Panja RKUHP. Dalam draf RKUHP memang belum mengatur norma pasal rekayasa kasus. “Ini usulan baru yang belum ada di draf RKUHP,” lanjutnya.

Tags:

Berita Terkait