PERADI Tanggapi Pasal 282 RUU KUHP tentang Sanksi Advokat Curang
Pojok PERADI

PERADI Tanggapi Pasal 282 RUU KUHP tentang Sanksi Advokat Curang

Jika tetap dipertahankan, pasal ini tidak boleh hanya ditujukan kepada advokat, tetapi juga penegak hukum lain, yaitu hakim, jaksa penyidik, panitera, dan klien.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum DPN PERADI, Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. Foto: istimewa.
Ketua Umum DPN PERADI, Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. Foto: istimewa.

Menanggapi surat bernomor PPE.2.PP.01.04/579 perihal Undangan Rapat Internal Pemerintah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI pada 6 Agustus; Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) memberikan sejumlah catatan tegas terkait pembahasan advokat curang.  Hal ini terkait keberadaan Pasal 282 RUUKUHP yang berbunyi sebagai berikut:

 

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:

  1. Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau
  1. Memengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut hukum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

Ketentuan ini ditujukan kepada advokat yang secara curang merugikan kliennya atau meminta kliennya menyuap pihak-pihak yang terkait dengan proses peradilan.

 

Dalam siaran pers tertanggal 10 Agustus 2021, Ketua Umum DPN PERADI, Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.H. menyampaikan bahwa pasal ini dibuat dengan paradigma yang kurang tepat. Adapun terkesan diskriminatif, prejudice, dan tendensius, pasal ini hanya ditujukan kepada advokat, seakan-akan hanya advokat yang dapat berlaku curang. Padahal, menurut Otto, perbuatan curang dapat dilakukan siapa saja, termasuk penegak hukum dan klien.  

 

Keberadaan pasal ini sendiri dianggap menempatkan advokat dalam posisi yang lemah. “Pasal ini adalah delik formil, sehingga sangat berbahaya bagi advokat dalam menjalankan tugasnya. Ketiak mendamaikan klien dengan lawannya, dapat terjadi win-win atau lose-lose. Kalau karena sesuatu hal kliennya menyetujui untuk lose atau mengalah dalam perjanjian, dapat saja di kemudian hari advokat tersebut dengan mudah dilaporkan klien dengan tujuan tertentu,” sebagaimana tertulis dalam siaran pers.

 

Selain itu, penjelasan Pasal 282 juga dinilai tidak sinkron dengan norma Pasal 282. Pasal 282 berisi tentang perbuatan curang, tetapi penjelasannya justru mengenai suap.

 

PERADI menyadari, dalam praktiknya, advokat yang berlaku curang perlu mendapatkan sanksi. Namun, sanksi tersebut tidak tepat dikenakan dengan Pasal 282. Apalagi, selama ini Dewan Kehormatan PERADI selalu bertindak tegas dan menjatuhkan sanksi kepada advokat. Bahkan, ada pula advokat yang sudah dipecat karena berlaku curang. Jadi, ketentuan mengenai sanksi sebenarnya sudah diatur oleh Kode Etik Advokat. 

 

PERADI lantas meminta kepada pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan ketentuan Pasal 282 dari isi KUHP. “Jika pasal ini tetap dipertahankan, pasal ini tidak boleh hanya ditujukan kepada advokat, tetapi juga penegak hukum lain, yaitu hakim, jaksa penyidik, panitera, dan klien,” sambung Otto.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Tags:

Berita Terkait