Perma Larangan PK Praperadilan, Begini Pandangan Pakar
Berita

Perma Larangan PK Praperadilan, Begini Pandangan Pakar

Seharusnya MA menerbitkan Perma tentang syarat dan prosedur penetapan tersangka dan penyitaan dengan merinci duaalat bukti sesuai masing-masing unsur pasal yang dipersangkakan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Terbitnya, Peraturan MA (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan menuai pro dan kontra dari kalangan akademisi dan praktisi hukum. Sebab, meski tujuan penerbitan Perma ini guna menjamin kepastian hukum, tetapi justru potensial melanggar hak pencari keadilan untuk mengajukan PK terhadap perkara praperadilan.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menilai terbitnya Perma larangan PK praperadilan hal yang wajar. Sebab, SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, salah satunya ‘melarang’ pengajuan PK perkara praperadilan, kecuali ada unsur penyelundupan hukum.

“Saya setuju saja dengan Perma larangan PK praperadilan ini, tetapi tetap dibuka kemungkinan PK praperadilan dengan syarat ada penyelundupan hukum yang dimaknai ada unusr kesewenang-wenangan,” kata Chairul Huda di Gedung MK, Rabu (11/5) kemarin.

Dia menilai Perma larangan PK ini sangat dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum acara dalam praktik permohonan praperadilan. Hal ini menghindari para pihak seenaknya mengajukan tanpa persyaratan yang ketat.

“Saya sendiri belum baca Permanya secara lengkap, tetapi Perma cukup penting agar tidak sedikit-sedikit orang mengajukan PK praperadilan. Eksesnya, nanti ada dua peradilan yang sama-sama berjalan yakni perkara pokok dan praperadilannya,” kata dia.  

Menurutnya, fungsi pengadilan negeri sebagai “penyaring” terhadap setiap permohonan PK praperadilan guna menilai apakah ada unsur penyelundupan hukum atau tidak. “Kalau memang diduga ada penyelundupan hukum, ya berkas permohonannya bisa dikirim ke MA untuk diputuskan. Kalau tidak ada, pengadilan negeri harus menyatakan permohonan PK praperadilan tidak memenuhi syarat formil,” sarannya.

Sementara Praktisi Hukum Maqdir Ismail menilai terbitnya Perma Larangan PK Praperadilan masih membatasi hak warga negara untuk mendapatkan keadilan. Sebab, untuk mendapatkan keadilan seharusnya tidak boleh “ditutup” oleh kebijakan termasuk mengajukan permohonan PK terhadap perkara praperadilan.    

“Kalau mau dibatasi, seharusnya yang dibatasi hanya terbatas pada hak PK yang diajukan oleh penegak hukum,” kata Maqdir saat dihubungi.

Dia sependapat dengan pandangan Chairul bahwa pengajuan PK praperadilan seharusnya tetap dibuka apabila mengandung unsur kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Dia mencontohkan PK atas praperadilan berkenaan dengan penetapan tersangka atau penyitaan harus tetap dibolehkan karena ini berhubungan dengan hak asasi manusia (HAM).

Dia mengingatkan putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 telah memperluas objek praperadilan terutama untuk menguji keabsahan prosedur penetapan tersangka dan penyitaan oleh aparat penegak hukum. “Sejak ada putusan MK yang memperluas objek praperadilan seharusnya MA semakin mempertegas syarat dan prosedur penetapan tersangka dan penyitaan, bukan malah membatasi hak warga negara,” kritiknya.  

‎”Dalam penetapan tersangka, MA seharusnya membuat pedoman melalui Peraturan MA. Misalnya, merinci 2 alat bukti sesuai masing-masing unsur pasal yang dipersangkakan,” sarannya.

Menurutnya, secara teoritis hukum acara dibuat untuk melindungi HAM dan membatasi kewenangan aparat penegak hukum. “Jangan lupa hukum acara itu gunanya mengatur dan membatasi kewenangan penegak hukum, bukan justru membatasi hak warga negara,” tegasnya.  

Sebelumnya, MA menerbitkan  Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan pada 18 April 2016. Intinya, beleid ini mengatur setiap putusan praperadilan tidak bisa diajukan upaya hukum PK ke MA. Aturan ini guna mengakhiri kesimpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh-tidaknya pengajuan PK perkara praperadilan demi kepastian agar tidak menunda-nunda perkara pokoknya.  

MA beralasan pemeriksaan perkara praperadilan ini menyangkut formalitas menyangkut keabsahan prosedur sah-tidaknya penangkapan, penahahan, sah-tidaknya penghentian penyidikan yang cukup diselesaikan di pengadilan tingkat pertama. Sebab, faktanya selama ini cukup banyak perkara praperadilan diajukan PK. Praktiknya, pengajuan PK perkara praperadilan umumnya ditolak majelis hakim agung, meski ada yang mungkin dikabulkan.
Tags:

Berita Terkait