Perseteruan BPK-MA, (Kembali) Mengarah ke SKLN?
Audit Biaya Perkara:

Perseteruan BPK-MA, (Kembali) Mengarah ke SKLN?

BPK kembali menimbang jalur penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara ke MK. BPK melihat tak ada tubrukan antara UU Keuangan Negara dan HIR. Jalur uji materi tak relevan.

Ycb/Her
Bacaan 2 Menit
Perseteruan BPK-MA, (Kembali) Mengarah ke SKLN?
Hukumonline

 

Ketua MA Bagir Manan pun membalas pantun Anwar. Saling gertak via media tak terelakkan. Pertempuran itu sempat meruam ke atmosfer pergaulan antar-lembaga negara. Mahkamah Konstitusi (MK), waktu itu, enggan membikin fatwa. Toh bisa lewat jalur Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), tutur Ketua MK Jimly Asshidiqie, September lalu.

 

Panasnya perselisihan sempat mendapat sentuhan mediasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendamaikan Anwar dan Bagir. Anwar pun legowo mencabut laporannya ke Kepolisian. Setelah cium pipi kanan pipi kiri -demikian bahasa Anwar- antara MA-BPK, Pemerintah via Departemen Keuangan menyiapkan sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Itulah RPP tentang pengelolaan biaya perkara.

 

Namun, damai di bulan September silam -tepat di bulan Ramadan- nampaknya terancam patah. BPK kembali gali kapak perang. MA masih tak sudi biaya perkara diperiksa. Apalagi, toh hingga kini PP Biaya Perkara tak kunjung lahir. PP tak menyelesaikan masalah, teriak Anwar seusai Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pekan lalu.

 

Anwar mengancam akan memberikan rapor opini disclaimer. Opini jenis ini merupakan yang terburuk, karena si auditor tidak bersedia memberikan opini. Audit keuangan MA saat ini, masih berlangsung, ujar Auditor Utama BPK Soekoyo.

 

Soekoyo menjelaskan, sebelum lahir UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, objek audit BPK memang seputar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nah, UU Keuangan Negara yang berlaku, juga mengatur kekayaan orang lain yang dikuasai oleh negara, sergah Soekoyo.

 

MA berpendapat biaya perkara tak dapat diaudit oleh BPK. MA berpegang kepada Het Herziene Indonesisch Regelement  (HIR). Lagipula, menurut MA, biaya perkara merupakan uang titipan dari pihak berperkara.

 

UU Keuangan Negara

Pasal 1

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

 

Pasal 2

Keuangan Negara meliputi:

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan  dan/atau kepentingan umum;

 

 

Kepala Direktorat Utama bidang Hukum BPK Hendar Ristriawan menjelaskan HIR tak ada salahnya jika memaknai biaya perkara sebagai titipan publik. Namun, ujar Hendar, UU Keuangan Negara yang kini berlaku sudah punya cakupan luas. Termasuk aset milik masyarakat yang dikuasai oleh pemerintah. Memberi pelayanan kepada pihak yang berperkara juga kepentingan umum, dalihnya.

 

SKLN?

Makanya, menurut Hendar, kedua ketentuan itu tidak ada yang salah. Pun Hendar belum menemukan celah pasal mana dalam HIR yang bertolak belakang dengan UUD 1945. Karena itu, Hendar memandang judicial review bukan langkah tepat. Kembali melaporkan pejabat MA ke polisi juga sama halnya mengulang jurus. Makanya, Kami cari kemungkinan untuk membawa ke SKLN, tuturnya kepada Hukumonline, di Gedung BPK, Rabu (23/4). Ide solusi lama sebenarnya, tetapi belum sempat terealisir.

 

Jika BPK menyasar uji materi aturan di bawah UU, seperti Peraturan MA tentang Biaya Perkara atau PP, yang mengadili majelis hakim dari MA. Nanti bisa jeruk minum jeruk, ujar Hendar sambil terkekeh.

 

Namun, sebelum melangkah ke sana, ada baiknya Hendar mengawasi Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Klausul itu menyatakan bahwa MA tak dapat jadi pihak dalam SKLN di MK. Namun demikian, Hendar masih bisa lewat lubang jarum via Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006. Menurut peraturan itu, MA tak dapat menjadi pihak pemohon/termohon dalam SKLN sebatas pada masalah teknis yudisial. Nampaknya, penyelesaian dengan jalur SKLN adalah yang terbaik.

 

UU MK

Pasal 65

Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-UNdang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi.

Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006

Pasal 2 ayat (3)

Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial).

 

Juru bicara MA Djoko Sarwoko enggan memberikan pernyataan soal audit biaya perkara ini. Saya sudah capek berkomentar tentang itu, tukasnya dari balik sambungan telepon, Rabu (23/4). Menurut Djoko, pembuatan RPP itu urusan pemerintah. Khususnya, tanyakan lebih lanjut ke Departemen Keuangan, sergahnya.

 

Menurut Djoko, bukan berarti lembaga yudikatif tak mau diperiksa. Namun, khusus biaya perkara, Masih ada beda pandangan, sambungnya. Ketika hukumonline hendak bertanya soal SKLN, Djoko tak bersedia menanggapi. Saya lagi rapat, ujarnya menutup telepon.

 

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Patrialis Akbar berpendapat BPK terlalu berlebihan. Menurut politisi asal Fraksi Partai Amanat Nasional ini, biaya perkara sulit diaudit. Pertama, karena pos ini milik masyarakat. Kedua, saldonya berfluktuasi. Setiap hari bisa berkurang karena ada biaya kelebihan yang dikembalikan kepada pihak yang berperkara. Atau sebaliknya, bisa bertambah jika ada perkara baru, sambungnya.

 

Patrialis menyayangkan BPK masih ngotot berseteru dengan MA. Menurutnya, tingkah BPK ini kurang elegan dalam tata laku terhadap sesama lembaga negara. Itu langkah yang kurang tepat, tegasnya.

 

Patrialis menyarankan BPK tetap bisa mengaudit sejumlah uang yang dikelola oleh lembaga peradilan. BPK bisa mengaudit biaya registrasi yang memang masuk kas negara. Tapi sulit untuk periksa biaya perkara, papar anggota komisi bidang hukum dan hak asasi manusia ini.

 

Dalam Sidang Paripurna DPD pekan lalu, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita menyarankan lembaga negara apa pun, termasuk MA, tak perlu alergi disambangi BPK. Ini era terbuka. Sudah saatnya setiap lembaga tak perlu menghindar dari BPK. Apalagi ini duit rakyat, tuturnya.

 

Nasib RPP

Sebenarnya pemerintah sudah merampungkan draf awal RPP Biaya Perkara yang digadang-gadang itu. Seorang pejabat BPK menunjukkan RPP tersebut kepada Hukumonline. Menurut sumber tersebut, biaya perkara termasuk PNBP. Di sini dijelaskan berapa tarifnya dan bagaimana cara mengelolanya, ujarnya.

 

Ketika hukumonline meminta kopiannya, pejabat itu menampik. Jangan saya. Resminya minta Sekretariat Negara saja, tuturnya. Meski demikian, dia bersedia menunjukkan beberapa pasal. Pasal pertama mengatur ruang lingkup biaya perkara. Biaya tersebut untuk perkara perdata. Ruang lingkupnya Peradilan Umum, Tata Usaha Negara (TUN), Peradilan Agama (PA), serta tingkat kasasi di MA. Tak terlihat jenis peradilan perburuhan atawa Penyelesaian Hubungan Industrial (PHI).

 

Biaya perkara yang dimaksud, bukan termasuk biaya proses penyelesaian perkara (Pasal 2). Dengan demikian, ujar si sumber, PP ini nantinya hanya mengatur bagaimana cara mengelola biaya kepaniteraan dan berapa tarifnya. Sekali lagi, bukan seluruh elemen biaya perkara. Hanya kepaniteraan, tegasnya.

Perseteruan antara dua lembaga negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) belum kunjung menemui titik temu. BPK konsisten pada sikapnya, menuding MA, sebagai pucuk tertinggi pengadilan, emoh diaudit biaya perkara yang selama ini mereka kelola. Ketua BPK Anwar Nasution sempat menantang akan melaporkan Sekretaris MA ke Kepolisian karena dianggap menghalangi tugas pasukan pemeriksa menjalankan tugas: mengaudit duit negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags: