PNS Kemenhub Uji UU Pensiun ke MK
Berita

PNS Kemenhub Uji UU Pensiun ke MK

Pemohon diminta memikirkan kembali dasar permohonannya.

ASh
Bacaan 2 Menit
Pegawai Negeri Sipil Kemenhub uji UU pensiun ke MK, Foto: Sgp
Pegawai Negeri Sipil Kemenhub uji UU pensiun ke MK, Foto: Sgp

Lantaran tak mendapatkan uang pensiun, seorang pegawai negeri sipil (PNS) menguji UU No 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda. Adalah Widodo Edy Budianto, seorang PNS pada Kementerian Perhubungan di wilayah Jawa Tengah yang menguji Pasal 9 ayat (1) UU Pensiun karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.  

 

Edy yang selama ini bertugas sebagai staf di Administrator Pelabuhan (Adpel) Tegal diberhentikan secara tidak hormat oleh Menteri Perhubungan (Menhub) atas usulan Kanwil Departemen Perhubungan Jawa Tengah. Ia dianggap melanggar disipllin dengan tidak masuk kerja selama tiga tahun gara-gara kasus hutang-piutang yang membelitnya di tempat kerja.

 

Meski telah dipecat, Edy menuntut uang pensiun. Ia mengaku sudah berjuang melalui mekanisme keberatan atas SK Menhub yang memecat dirinya di PTUN. Namun, hingga tingkat kasasi, pengadilan menyatakan SK pemberhentian itu sah. Sekarang, perjuangan Edy ditempuh di MK dengan menguji UU Pensiun.

 

Pasal 9 ayat (1) huruf a berbunyi “pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri berhak menerima pensiun pegawai, jikalau ia pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun dan mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 20 tahun”.

 

Edy menuturkan mengacu pada Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka dirinya seyogyanya tetap memiliki hak pensiun untuk mempertahankan hidup. “Pemohon sebagai kepala keluarga membutuhkan biaya hidup,” kata Edy dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Achmad Sodiki di Gedung MK Jakarta, Senin (24/1).

 

Pasal 9 ayat (1) huruf a, menurut Edy, menjadi ganjalan baginya untuk memperoleh uang pensiun. Edy sebenarnya memenuhi beberapa kriteria yang diatur dalam pasal itu yakni saat diberhentikan berusia 50 tahun dan masa kerja selama 24 tahun. Namun, Pasal 9 ayat (1) huruf a hanya mengenal pemberhentian dengan hormat. Sedangkan, Edy diberhentikan dengan tidak hormat.

 

“Ini tidak adil, diberhentikan dengan hormat dapat pensiun, pemberhentian tidak hormat tidak dapat pensiun, padahal masa kerja saya 24 tahun,” ujar pria yang mengaku hanya lulusan sekolah dasar dan pangkat terakhirnya Golongan I C itu.  

 

Meskipun merasa diberhentikan secara sepihak, Edy sebenarnya menyadari bahwa dirinya memang bersalah. Makanya, dia tidak berniat menuntut gaji dan tunjangan yang belum diterimanya. “Saya hanya minta hak pensiun saja untuk biaya hidup,” kata Edy memohon.

 

Mengkritisi permohonan, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki mempertanyakan jika Pasal 9 ayat (1) huruf a dibatalkan, lalu bagaimana membedakan antara pegawai yang diberhentikan dengan hormat atau tidak hormat. “Pasal ini kan tidak semata-mata mengatur pemberhentian, tetapi juga syarat pensiun. Jika pasal itu dibatalkan apa pegawai yang baru kerja 1-2 tahun sudah bisa pensiun? Ini perlu dipikirkan” kata Sodiki.

 

Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva juga mempertanyakan jika Pasal 9 ayat (1) tak berlaku, lalu apa dasar pemerintah membayar hak pensiun? “Kalau pasal itu dihapus baik yang diberhentikan dengan hormat atau tidak ada dasarnya lagi. Kalau pasal ini dihapus orang yang diberhentikan dengan tidak hormat juga tidak dapat pensiun,” kata Hamdan menegaskan.

 

Karena itu, Hamdan meminta pemohon untuk memikirkan kembali dasar permohonannya. “Coba Anda pikirkan dan renungkan baik-baik karena ini bukan kepentingan Saudara saja, tetapi seluruh PNS di Indonesia.”

Tags: