PNS Tak Produktif Terancam Pensiun Dini
Berita

PNS Tak Produktif Terancam Pensiun Dini

Program pensiun dini diyakini akan dapat menghemat anggaran pegawai.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Menkeu Agus Martowardojo (kiri) katakan kementeriannya akan<br> menjadi contoh pelaksanaan program pensiun dini bagi PNS.<br> Foto: SGP
Menkeu Agus Martowardojo (kiri) katakan kementeriannya akan<br> menjadi contoh pelaksanaan program pensiun dini bagi PNS.<br> Foto: SGP

Pemerintah berencana menggalakkan program pensiun dini bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setidaknya, program ini diyakini akan dapat menghemat anggaran pegawai sebesar 40 persen. Namun, program pensiun dini ini tidak bersifat paksaan. Jika terealisasi, Kementerian Keuangan akan menjadi lembaga pertama yang akan merampingkan jumlah pegawainya.

 

Sekitar 2.000 pegawai di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan berpotensi terkena pensiun dini. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan kementeriannya akan menjadi role model pelaksanaan program ini. Pelaksanaan pensiun dini itu bersifat sukarela, namun Kementerian Keuangan memiliki hak untuk mempertahankan PNS jika tenaganya masih dibutuhkan.

 

“Kementerian Keuangan akan menawarkan kepada para pegawai untuk mengikuti program pensiun dini,” katanya.

 

Menurut Agus, adanya program pensiun dini untuk meningkatkan produktivitas PNS. Menkeu menjanjikan, PNS yang ikut program ini akan mendapat kompensasi yang menarik. Namun, ia mengingatkan program yang saat ini sedang dalam proses finalisasi dan dibahas bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini tidak akan berlangsung dalam waktu lama, namun terbatas sekitar satu atau dua bulan.

 

Untuk diketahui, jika program ini diberlakukan, sekitar 2.000 pegawai di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan berpotensi terkena pensiun dini. Dua ribu pegawai dengan besaran gaji yang beragam tersebut merupakan pegawai yang masa kerjanya di atas 20 tahun, dengan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) yang direkrut pada tahun 1970 hingga 1980-an. Saat ini usia para pegawai pada level tersebut telah memasuki 50 tahun.

 

Program pensiun dini sebenarnya sudah digagas oleh Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati. Saat itu, Sri Mulyani menilai pensiun dini perlu dilakukan mengingat banyaknya PNS yang bekerja tak efektif.    

 

“Kita tahu bahwa untuk pekerjaan yang sama apabila bisa diselesaikan oleh sumber daya manusia yang tepat atau lebih ramping dibandingkan yang ada, itu berarti meningkatkan produktivitas dan itu akan membuat suatu pencapaian sasaran kerja yang lebih baik,” terang Agus.

 

Wacana pensiun dini mendapat dukungan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). FITRA memperkirakan 124 daerah di Indonesia memiliki anggaran belanja pegawai lebih besar dibandingkan dengan belanja modal. Ke-124 daerah ini menganggarkan belanja pegawai hingga di atas 60 persen dari APBD-nya.

 

Sekjen FITRA Yuna Farhan mengatakan, selama ini otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan publik sulit tercapai dengan semakin besarnya 'ongkos tukang'. Dia khawatir jika kondisi keuangan tersebut dibiarkan berlarut-larut, kebangkrutan diperkirakan akan segera mengancam daerah dalam 2-3 tahun mendatang.

 

“Kondisi ini terjadi karena APBD hanya digunakan untuk membiayai pegawai,” ujar Yuna dalam keterangan pers yang diterima hukumonline.

 

FITRA mencatat, sebanyak 124 daerah memiliki anggaran belanja pegawai diatas 60 persen dengan belanja modal hanya 1-15 persen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 16 daerah bahkan memiliki anggaran belanja pegawai di atas 70 persen.

 

Pemerintah Daerah (Pemda) yang paling besar mengalokasikan anggaran belanja pegawai adalah Kabupaten Lumajang hingga 83 persen dan belanja modal hanya satu persen.

 

FITRA menilai besarnya anggaran belanja pegawai bukannya tidak disadari oleh pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Namun, bendahara Negara ini seharusnya menyadari tingginya belanja pegawai di tingkat pusat maupun daerah terjadi karena kebijakan remunerasi yang terbukti belum mampu mengurangi perilaku korupsi birokrasi.

 

Penyebab besarnya anggaran belanja pegawai juga berasal dari kenaikan gaji secara berkala mulai tahun 2007 hingga 2011 yang berkisar antara 5-10 persen. Pemerintah juga harus menambah anggaran belanja pegawai karena pemberian gaji ke-13. Faktor penyebab lain adalah rekrutmen PNS yang dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan keterbatasan anggaran.

 

Melihat kondisi tersebut, FITRA mendesak pemerintah untuk menciptakan formula dana perimbangan baru yang memberikan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan pendapatan dan mengurangi belanja pegawai. Pemerintah juga diminta untuk melakukan depolitisasi birokrasi.

 

“Alasannya, kepala daerah yang menjabat sebagai pembina PNS Daerah seringkali menjadi ajang politik untuk meraih dukungan dengan menambah berbagai tunjangan dan rekrutmen PNS Daerah baru,” kata Yuna.

 

Kemudian, pemerintah diimbau untuk menyusun rasio jumlah pegawai. Meski secara jumlah belum terlihat adanya kelebihan pegawai, namun FITRA memandang penyebaran PNS masih belum merata di sejumlah kawasan di Indonesia.

Tags: