Menurutnya, tagline ‘polisi sebagai abdi negara’ mesti diubah. Jika tidak, budaya polisi lebih mengutamakan tanggungjawab kepada atasan terus berlanjut. Keberadaan polisi ibarat bayi yang lahir dari masyarakat. Ia berpandangan, segenting apapun kondisi negara, hanya rumah sakit, pendidikan, dan polisi yang tetap dibutuhkan masyarakat. “Bagi polisi di lapangan, atasannya adalah negara,” ujarnya.
Farouk yang duduk sebagai anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dari dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menambahkan, terpenting dari seorang polisi adalah kejujuran. Farouk menceritakan, saat menjabat Kapolres Cianjur Jawa Barat, ia lebih mengutamakan tanggungjawab kepada masyarakat setempat, ketimbang kepada atasan.
Ia menegaskan tak peduli dengan pejabat Kapolda saat itu. “Gak ada urusan siapa Kapoldanya. Saya tanggungjawab sama masyarakat. Buktinya saya sampai juga bintang dua. Polisi itu dilahirkan oleh rakyat dan bertanggungjawab sama rakyat,” katanya.
Ia berharap rumusan dalam RUU Polri mengaskan Polri adalah abdi masyarakat, bukan negara. Memang hal itu akan mengubah budaya di internal Polri secara keseluruhan. Namun, sepanjang demi perbaikan pelayanan kepada masyarakat, perlu terobosan yang akan mengembalikan citra dan kepercayaan masyarakat kepada polisi.
“Itu harus diganti, polisi abdi masyarakat,” katanya.
Masukan lainnya, Farouk mengatakan harus memperkuat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Menurutnya, Kompolnas tidak lagi melakukan pengawasan operasional Polri, tapi pengawasan yang dilakukan seputar tataran kebijakan yang diambil Polri. Menurutnya dengan penguatan Kompolnas akan menyaring kekuasaan yang ada di Polri dengan kepala pemerintahan. Sebagaimana diketahui, Polri berada di bawah langsung presiden.
Lebih jauh dia mengatakan, Polri rawan digunakan oleh kekuatan politik sebagai rezim penguasa. Menurutnya, menggunakan kekuatan Polri untuk kepentingan politik lebih mudah ketimbang TNI. Pasalnya, di dalam kepolisian terdapat kewenangan untuk memaksa. Ia mengatakan, melakukan kontrol terhadap kepolisian amatlah sulit.
“Hubungan polisi dibawah presiden, inilah yang dikhawatirkan di negara demokrasi,” katanya.
Soal pengangkatan Kapolri juga mesti dievaluasi. Menurutnya, proses pengangkatan Kapolri harus dilakukan oleh Kompolnas, tidak lagi mendapat persetujuan dari DPR. Pemisahan pengambilan kebijakan juga mesti dipisahkan. Setidaknya, kata Farouk, Polri tidak lagi berada di bawah presiden. Menurutnya, bagaimana mungkin presiden mengawasi Polri.
“Apakah kita mau mempertahannkan kepolisian dimana kewenangan ada di satu tangan. Kenapa semua kebijakan itu kita pisah, suapaya fair. Makanya Kompolnas itu diperlukan,” katanya.
Wakil Ketua Baleg Sunardi Ayub mengatakan, peran polisi memang rawan digunakan oleh kepentingan politik. Bahkan, kalangan pengusaha dapat menggunakan polisi. Ia mengamini padangan Farouk agar dilakukan penataan perbaikan institusi kepolisian. Kemudian, soal sistem pengangkatan Kapolri, menurut Sunardi perlu dibenahi.
“Karena proses proses pemilihan hanya satu calon di komisi III dan tidak ada pilihan lain,” ujarnya.
Anggota Baleg Martin Hutabarat menambahkan, peran Kompolnas harus diperkuat dalam melakukan pengawasan terhadap institusi kepolisian. Menurutnya, merampungkan pembahasan RUU Polri perlu kehatian-hatian. Perlu pula disinkronkan dengan RKUHAP dan RUKHP.
“Kita tidak harus buru-menyelesaikan UU ini kalau memang belum bagus benar UU Kepolisian ini,” pungkas anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra itu.