PP 52 Tahun 2000 Disinsentif bagi Industri Internet
Fokus

PP 52 Tahun 2000 Disinsentif bagi Industri Internet

Para pelaku industri internet bersiap-siaplah!. Peraturan Pemerintah (PP) No.52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi bakal menjadi diinsentif bagi industri internet. Pasalnya untuk masuk ke bidang tersebut, mereka harus memperoleh izin dari Menteri Perhubungan dan terikat dengan struktur tarif yang ditentukan.

Oleh:
AH/APr
Bacaan 2 Menit
PP 52 Tahun 2000 Disinsentif bagi Industri Internet
Hukumonline
Berdasarkan pengamatan Hukumonline, umumnya pelaku industri internet memiliki harapan yang cukup besar terhadap regulasi industri internet yang make sense. Harapan tersebut tercermin mulai dari perbincangan santai sampai dengan perbincangan dalam forum-forum yang cukup serius seperti seminar dan diskusi.

Pengamatan Hukumonline di atas baru sebatas pengamatan pada pelaku yang dikenal dengan perusahaan dot com. Sementara pengamatan pada pelaku lainnya, yang juga cukup penting, seperti penyedia jasa internet (ISP) belum dilakukan secara mendalam.

Apabila kita amati, pertumbuhan industri dot com di Indonesia sejak tahun kemarin sangatlah pesat. Hal itu bisa dilihat dari pertambahan yang signifikan dari jumlah perusahaan dot com dan bidang yang digarapnya. Mulai dari portal yang cakupannya sangat luas sampai dengan perusahaan yang menggarap bidang yang sangat khusus.

Sementara itu, ISP yang sudah ada lebih dahulu dari perusahaan dot com belum membuat suatu perkembangan yang signifikan, baik dari segi kualitas jasa sampai dengan jenis jasa yang diberikan.

Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya kesalahan dari pelaku ISP. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelambatan pertumbuhannya adalah regulasi yang beelum jelas. Regulasi atas ISP tersebut dimulai dari pembatasan entry sampai dengan masalah penentuan biaya akses.

Sayangnya, menurut sumber Hukumonline, regulasi yang ketat tersebut bukan hanya muncul dari keinginan pemerintah semata. Namun, regulasi tersebut juga hasil lobi dari para pelaku industri ISP yang memang menginginkan adanya pembatasan-pembatasan dari mulai entry barrier sampai dengan kartel yang dimaksudkan untuk mengontrol biaya akses.

Pada ekstrim yang lain, kalangan dot com justru cenderung anti-regulasi. Dalam salah satu mailing list kalangan pelaku dot com, malah muncul suatu sikap yang sama sekali tidak menginginkan campur tangan pemerintah dalam hubungan dengan industri dot com.

Namun upaya untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah melalui suatu cara yang lebih terorganisasi, seperti yang dilakukan oleh APJI (Asosiasi Penyedia Jasa Internet), tidak mendapat sambutan yang baik.

Perlukah Regulasi?

Regulasi untuk industri internet tentu saja harus dijawab dengan ya. Alasannya adalah perusahaan dot com tentu saja tidak menginginkan hasil karyanya dibajak oleh orang lain dan tidak mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual (HaKI).

Tambahan lagi, siapa yang tidak menginginkan adanya perlindungan hukum yang jelas terhadap tindakan kriminal melalui internet. Siapa yang tidak menginginkan adanya pengaturan yang jelas tentang kegiatan perdagangan melalui internet.

Jadi, argumen pihak anti-regulasi memang tidak melalui pemikiran yang mendalam. Regulasi yang sifatnya mendukung dan memberikan insentif secara tidak langsung melalui kepastian hukum sangat dibutuhkan dan ditunggu-tunggu.

Potret Regulasi yang Buram

Saat ini, berdasarkan Keputusan Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi No. KM.116/PT.102/MPPT-91 tahun 1991 beberapa bidang usaha melalui internet seperti akses basis data yang terdiri dari enquiry services, entertainment services, advertising, voice and text mailbox, travel booking, transaksi antar bank, transfer uang, reservasi hotel, dan pemesanan barang masuk dalam katagori bidang telekomunikasi non-dasar.

Untuk dapat masuk ke dalam bidang tersebut diperlukan izin dari Menteri Perhubungan (dulu Menparpostel). Izin baru dapat diberikan setelah ada saran dan pertimbangan dari tim seleksi dan evaluasi yang ditetapkan oleh Menteri.

Saat ini banyak pengusaha berbasis internet melakukan kegiatan tersebut di atas tanpa memperoleh izin terlebih dahulu. Salah satu sebabnya adalah umumnya perusahaan tersebut adalah start up company yang memulai usahanya dengan ide yang baik, tetapi sumberdaya manusia dan dana yang terbatas.

Untuk menempuh proses guna memperoleh izin, begitu banyak hal yang harus dilakukan tanpa adanya kepastian apakah izin tersebut akan dikeluarkan. Selain itu, pihak regulator sendiri (paling tidak di tingkat yang melakukan administrasi izin tersebut) nampaknya kurang memahami spesifikasi lebih rinci dari usaha tersebut yang memerlukan izin.

Definisi-definisi tentang bidang usaha yang harus mendapatkan ijin telekomunikasi non-dasar tersebut sangat tidak jelas. Tambahan lagi, atas dasar pertimbangan apa sebuah entertainment services, yang dalam hal ini bisa saja berbentuk media yang bersifat hiburan dan akses data base atau berupa data base peraturan, harus memperoleh ijin telekomunikasi non dasar. Peraturan menteri yang dibuat pada tahun 1991 seperti dibuat secara asal-asalan.

Ketentuan ini menjadi masalah yang cukup besar ketika perusahaan yang masuk dalam definisi bidang (yang terlalu luas) tersebut di atas hendak melakukan transaksi tertentu yang membutuhkan pendapat hukum dari konsultan hukum independen, khususnya mengenai pemenuhan atas perizinan yang harus dimiliki untuk usahanya.

Misalnya suatu perusahaan yang menyediakan akses data base (yang tidak memiliki ijin dari Menteri Perhubungan) hendak melakukan penawaran umum atas saham-sahamnya di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dalam hubungan dengan proses tersebut, konsultan hukum independen harus memberikan pendapat hukum bahwa perusahan tersebut telah memiliki seluruh izin yang diperlukan untuk usahanya.

Betapapun tidak masuk akalnya ketentuan tersebut, konsultan hukum paling tidak harus memberikan suatu pendapat bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, perusahaan harus memperoleh izin tetapi izin tersebut belum diperoleh. Tentu saja pendapat semacam itu memiliki potensi menghambat kemungkinan perusahaan tersebut untuk memperoleh pendanaan melalui pasar modal.

Oleh karena itu, sejalan dengan persiapan efektifnya undang-undang tentang Telekomunikasi yang baru pada bulan September nanti, peraturan menteri tersebut harus dicabut.

Ketentuan PP 52 Sangat Mengkhawatirkan

Baru-baru ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Nampaknya PP tersebut mengadopsi hampir seluruh ketentuan yang berasal dari rancangan PP yang dibuat oleh Departemen Perhubungan.

Yang cukup mengkhawatirkan, dalam PP no.52 tersebut pembagian bidang yang masuk dalam Jasa Telekomunikasi dilakukan sangat luas. Tampaknya, pembuat PP dengan sengaja mencoba memasukkan seluruh bidang teknologi informasi yang tidak masuk dalam definisi jaringan telekokmunikasi ke dalam jasa telekomunikasi.

Tidak jelas apa latar belakang semangat untuk memasukkan seluruh bidang teknologi informasi (TI) tersebut. Satu kemungkinan yang terpikir adalah hal itu disebabkan pandangan bahwa segala hal di dunia ini (termasuk TI) harus ada aturannya. Apabila dugaan itu benar, sikap tersebut sangat patut disayangkan. Karena ada hal-hal tertentu di dunia yang tidak perlu diatur.

Jenis Jasa Telekomunikasi

PP 52 membagi jasa telekomunikasi ke dalam tiga bidang. Pertama, jasa telepon dasar seperti jasa telephoni, telegraf, telex, faksimile, dan juga jasa jual kembali telekomunikasi. Dampak atas definisi ini cukup terang.

Misalnya jasa faksimile yang saat ini diberikan oleh Astaga.com jelas masuk dalam katagori ini. Anehnya, PP 52 juga memasukkan wartel sebagai jasa jual-kembali telephoni dasar yang tentu saja menjadi masuk dalam rezim perijinan dan tarif berdasarkan PP 52.

Kedua jasa nilai tambah telephoni seperti radio panggil, voice response, dan jaringan pintar (intelegence network).

Ketiga, jasa multimedia yang didefinisikan sebagai penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi termasuk di dalamnya antara lain penyelenggaraan jasa voice over internet protocol (VoIP), internet dan intranet, komunikasi data, konferensi video dan jasa video hiburan.

Penyelenggaraan jasa multimedia yang dilakukan secara jual kembali atas dasar kesepakatan usaha untuk menjual kembali jasa multimedia seperti penyelenggaraan warung internet juga masuk ke dalam lingkup jasa telekomunikasi. Jadi pengusaha warnet bersiaplah untuk meyambut rezim peraturan baru yang lebih ketat.

Melihat ketentuan PP tersebut, pelaku internet seharusnya menjadi sangat khawatir. Mengapa mereka harus khawatir? Pasalnya, bidang-bidang tersebut cukup untuk meliputi seluruh hal yang saat ini dilakukan oleh mereka. Dan untuk dapat masuk dalam bidang tersebut, mereka harus memperoleh izin dari Menteri Perhubungan.

Izin dan Struktur Tarif

Selain itu, sebagai penyedia jasa telekomunikasi, mereka akan terikat dengan struktur tarif yang dasarnya telah ditentukan dalam PP, yaitu biaya aktivasi, biaya berlangganan, dan biaya penggunaan. Tarif akan ditentukan berdasarkan suatu formula yang akan ditetapkan oleh Menteri Perhubungan.

Untuk dapat memberikan jasa telekomunikasi sebagaimana disebutkan di atas, izin harus diperoleh terlebih dahulu dari Menteri Perhubungan. Izin hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang (i)berbentuk badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang telekomunikasi, (ii)mempunyai kemampuan sumber dan dan sumberdaya manusia di bidang telekomunikasi.

Memang ketentuan lebih lanjut, baik menyangkut perizinan maupun tarif, akan diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perhubungan. Pertanyaannya adalah, seberapa jauh Menteri Perhubungan akan menafsirkan definisi jasa telekomunikasi di dalam surat keputusannya?

Pentingnya SK Menteri Perhubungan

Definisi jasa telekomunikasi oleh Menteri Perhubungan tersebut menjadi sangat penting karena tampaknya para pembuat PP tidak melihat realita industri internet di Indonesia. Misalnya bagaimana peraturan tersebut memasukkan warung internet dan warung telekomunikasi sebagai salah satu penyedia jasa telekomunikasi. Juga memasukkan jasa internet dan intranet dalam jasa multimedia yang memiliki implikasi keharusan mendapatkan izin dan keterikatan kepada struktur tarif.

Kita optimis bahwa masih ada kesempatan terakhir untuk meluruskan ketentuan PP yang memiliki potensi salah kaprah itu dengan meminta Menteri Penerangan untuk membuat Peraturan Menteri yang make sense dengan memperhatikan realitas industri internet saat ini dan masa depan industri internet.

Untuk para pelaku industri internet, mungkin ini saatnya untuk memikirkan bagaimana cara terbaik untuk mengkomunikasikan perhatiannya terhadap ketentuan PP yang dapat merugikan mereka kepada pemerintah.

Melihat ketentuan dalam PP tersebut, terlihat kemungkinan bahwa pemerintah kita ingin meniru kebijakan pemerintah Irak yang membolehkan warnet beroperasi asalkan dengan izin dan struktur tarif warnet juga ditetapkan oleh pemerintah.
Tags: