PP Restitusi Anak Terbit, Begini Harapan Mereka
Berita

PP Restitusi Anak Terbit, Begini Harapan Mereka

Aparat penegak hukum perlu aktif mendorong efektivitas pembayaran restitusi.

Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi anak yang berhadapan dengan hukum. Ilustrator: BAS
Ilustrasi anak yang berhadapan dengan hukum. Ilustrator: BAS

Pemerintah telah menerbitkan PP No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Regulasi ini merupakan peraturan pelaksana Pasal 71D ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terbitnya PP ini semakin memperjelas mekanisme pemberian restitusi dalam perkara anak.

 

Setiap anak yang menjadi korban tindak pidana, eksploitasi ekonomi, penyiksaan fisik dan psikis, atau korban kejahatan pornografi dan perdagangan orang berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

 

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, mengapresiasi terbitnya PP Restitusi Anak karena berpeluang memberikan perlindungan yang maksimal terhadap korban termasuk ganti rugi. Ditambah lagi selama ini masih jarang diwujudkan restitusi bagi anak. Karena itu, ia berharap aparat penegak hukum perlu segera memahami PP Restitusi Anak.

 

Pemahaman yang sama aparat penegak hukum terhadap substansi PP akan menentukan efektivitas pelaksanaan restitusi. “Sehingga tuntutan restitusi itu bisa masuk dalam berkas perkara kemudian diputus majelis hakim,” katanya kepada hukumonline di Jakarta, Selasa (24/10).

 

(Baca Juga: Ini Poin-Poin PP Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana)

 

Setelah putusan, Rita mengatakan aparat penegak hukum harus aktif untuk mendorong pelaksanaan eksekusi. Menurutnya korban dan keluarganya bakal kesulitan menghadapi proses tersebut. “Kami mengimbau aparat penegak hukum untuk tegas dan berani memperjuangkan hak-hak korban untuk memperoleh restitusi,” ujarnya.

 

Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.

 

Catatan kritis ICJR

Terpisah, ICJR dalam keterangan pers yang diterima Hukumonline, juga mendukung beleid Pemerintah karena memperkuat hak-hak korban. ICJR berharap beleid terbaru itu menutup celah pelaksanaan restitusi kepada korban tindak pidana anak. Selain penggantian biaya, restitusi itu juga ditujukan untuk meringankan penderitaan dan menegakan keadilan bagi anak yang menjadi korban. Ganti kerugian ini akan dibebankan kepada pelaku melalui putusan pengadilan.

 

Pengajuan restitusi dapat diajukan oleh orang tua atau wali anak yang menjadi korban atau ahli watis anak yang menjadi korban. Bisa juga orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban. Permohonan juga bisa diajukan oleh lembaga. Yang penting, permohonan restitusi harus diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai kepada pengadilan.

 

Pengajuan restitusi yang diajukan sebelum putusan pengadilan dapat diajukan kepada penyidik dalam tahap penyidikan atau kepada penuntut umum pada tahap penuntutan. Dapat pula diajukan melalui LPSK sesuai peraturan yang berlaku. Dalam pandangan ICJR, salah satu kelebihan PP ini dapat mendorong partisipasi aparat penegak hukum (penyidik dan penuntut) untuk mendorong terlaksananya restitusi bagi korban.

 

PP Restitusi mengatur penyidik dan penuntut umum dapat memberitahukan tentang hak mengajukan restitusi kepada korban. PP juga mengatur teknis pelaksanaan restitusi oleh jaksa. ICJR menilai ini langkah maju karena sebelumnya aparat penegak hukum kurang mendorong pelaksanaan restitusi, kecuali dalam perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

 

(Baca juga: Penolakan Permohonan Restitusi dan Tantangannya di Peradilan Pidana)

 

Walau menyambut baik PP Restitusi, ICJR membuat catatan kritis atas dua hal. Pertama, ada syarat administratif yang membebani korban atau keluarganya dalam mengajukan permohonan restitusi. Berbagai syarat administratif itu harusnya tidak dibebankan kepada korban tapi difasilitasi aparat penegak hukum.

 

Pasal 7 mengatur PP pengajuan permohonan restitusi yang diajukan pihak korban paling sedikit harus memuat identitas pemohon; pelaku; uraian peristiwa pidana yang dialami; uraian kerugian yang diderita; dan besaran atau jumlah restitusi. Permohonan restitusi juga harus melampirkan fotokopi identitas anak yang jadi korban dan dilegalisasi pejabat berwenang; bukti kerugian yang sah; fotokopi surat keterangan kematian yang dlegalisasi pejabat berwenang jika anak yang jadi korban meninggal dunia; dan bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa orang tua, wali, atau ahli waris anak yang jadi korban.

 

Syarat-syarat itu dinilai terlalu banyak dan menyulitkan korban atau ahli warisnya. ICJR khawatir syarat itu bakal menjadi beban ganda korban untuk permohonan restitusi, seperti identitas pelaku, dan uraian tentang peristiwa pidana yang dialami. Syarat-syarat ini seharusnya difasilitasi dan disediakan aparat penegak hukum dan LPSK untuk menjamin dapat terlaksananya restitusi tersebut.

 

Kedua, dalam praktiknya tidak ada jaminan restitusi segera dibayar. Biasanya pelaku tidak mau  dan tidak sanggup bayar. ICJR menghitung sangat jarang pelaku yang mau membayar restitusi, kecuali dalam kasus TPPO, hal ini  terjadi karena ada mekanisme pemaksa yang dapat diberikan kepada pelaku seperti perampasan aset. Untuk restitusi di luar perkara TPPO, pelaku yang tidak mau bayar hanya dikenakan pidana subsider berupa penjara 2-3 bulan. ICJR khawatir pelaksanaan PP Restitusi pada praktiknya tidak bisa menjamin korban mendapat ganti rugi dalam bentuk finansial.

Tags:

Berita Terkait