Presiden: RUU Pemilu Tidak Terjebak Jangka Pendek
Berita

Presiden: RUU Pemilu Tidak Terjebak Jangka Pendek

Perubahan UU Pemilu merupakan sebuah keniscayaan karena sejalan dengan dinamika perubahan sistem ketatanegaraan dan upaya meningkatkan kualitas demokrasi.

Oleh:
ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo mengatakan revisi UU Pemilu yang akan diusulkan pemerintah ke DPR tidak terjebak dalam kepentingan politik jangka pendek. Menurutnya, RUU Pemilu disiapkan sebagai regulasi baru menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Pemilu Legeslatif dan Pemilihan Presiden dilakukan secara bersamaan.

“Harus dipastikan UU Pemilu bisa menjamin proses demokrasi, berjalannya demokrasi jujur dan adil," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas yang membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (13/9).

Presiden mengakui bahwa sejak reformasi, UU Pemilu, baik UU tentang Anggota DPR, DPRD, DPD maupun UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah dirombak beberapa kali. "Bahkan saya lihat setiap pemilu ada perubahan UU Pemilu," ungkapnya.

Jokowi menyatakan, perubahan UU Pemilu ini merupakan sebuah keniscayaan karena sejalan dengan dinamika perubahan sistem ketatanegaraan dan upaya meningkatkan kualitas demokrasi.

Presiden juga mengungkapkan RUU Pemilu untuk menyiapkan regulasi baru menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dilakukan secara bersamaan. "Untuk itu saya minta dalam rancangan UU yang diusulkan pemerintah subtansinya menyederhanakan, menyelaraskan tiga UU yang sebelumnya terpisah," kata Jokowi.

Ketiga UU yang akan disatukan adalah UU Pemilu Anggota DPR, DPRD, DPD (legislatif); UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta UU Penyelenggaraan Pemilu. "Saya juga ingin menekankan semangat pembentukan UU pemilu yang baru ini bukan semata-mata menindaklanjuti putusan MK, tetapi juga menyempurnakan yang sifatnya subtansial berdasarkan pengalaman praktik pemilu sebelumnya, baik dari segi teknis penyelenggaraan, tahapan pemilu, tata kelola penyelenggaraan pemilu dan pencegahan praktik politik uang," harap Presiden.

Jokowi juga berharap rancangan UU Pemilu yang baru ini juga bisa jadi instrumen menyederhanakan sistem kepartaian, mewujudkan lembaga perwakilan yang lebih akuntabel, serta memperkuat sistem presidential. Presiden juga berharap dalam rumusan UU Pemilu yang baru ini, rumusan pasal-pasalnya tidak menimbulkan multitafsir dan menyulitkan penyelenggara pemilu.

"Untuk itu pemilihan mengenai sistem pemilu, ambang batas parlemen, sistem pencalonan presiden dan wapres, penataan daerah pemilihan, metode konversi suara ke kursi harus betul-betul dikalkulasi secara matang sehingga menghadirkan pemerintahan yang efektif dan anggota legislatif yang baik," katanya. (Baca Juga: 13 Isu Krusial RUU Pemilu Dibahas Rakor Kemenko Polhukam)

Seperti diketahui, pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri saat ini masih menyempurnakan revisi UU Pemilu. Sejatinya revisi itu merupakan penyempurnaan dari UU tentang Pemilihan Anggota Legislatif, UU tentang Pilpres, dan UU tentang Penyelenggaraan Pemilu.

Dalam progresnya, pemerintah hingga saat ini belum menyerahkan draf itu ke DPR, namun ada beberapa isu krusial yang menjadi poin penting agar pelaksanaan demokrasi bisa berjalan dengan baik.

Salah satu hal krusial yang menjadi perhatian pemerintah adalah soal sistem pemilu yang nanti akan digunakan. Tim pakar pemerintah dalam penyusunan RUU Pemilu, Dhany Syarifudin Nawawi mengatakan kemungkinan Pemilu 2019 tidak akan menggunakan sistem proporsional terbuka murni.

Syarat itu terkait erat dengan ambang batas parlemen atau "parlementary treshold" (PT) yang akan digunakan dalam Pemilu 2019, tentu dalam kaitan ini ada tarik menarik kepentingan antar partai politik.

Di satu sisi, partai besar menginginkan adanya PT yang besar karena beralasan untuk menyederhanakan sistem koalisi, dan di sisi lain partai kecil menginginkan PT tidak terlalu tinggi atau bahkan tetap.

Selain itu, pemerintah mengusulkan memperketat syarat untuk calon anggota legislatif, yaitu para calon harus tercatat aktif di partai politik minimal satu tahun. Hal itu bertujuan menghindari calon legislatif yang sama sekali belum terlibat dalam dunia politik, tapi tiba-tiba mencalonkan diri.

Namun, aturan pengetatan syarat calon itu berkembang lebih luas di masyarakat dengan memfokuskannya kepada caleg dari kalangan artis. Padahal dalam pernyataanya, pemerintah tidak merujuk secara rinci kalangan artis yang maju sebagai caleg harus aktif satu tahun di parpol.

Tags:

Berita Terkait