Pro Kontra PPAT Soal PP No. 24 Tahun 2016
Utama

Pro Kontra PPAT Soal PP No. 24 Tahun 2016

Mulai dari batasan usia 22 tahun hingga perubahan wilayah kerja PPAT.

Oleh:
FAT/M-25
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam PP itu, sejumlah substansi baru resmi diterapkan. Namun, sebagai pihak terkait, sejumlah PPAT mengemukakan pandangannya terkait substansi dari PP ini.

Sebut saja Ketua Majelis Kehormatan Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Winanto Wiryomartani. Menurutnya, sejumlah substansi baru dalam PP hampir mendekati substansi dari UU No. 30 Tahun 2004 jo UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (JN), khususnya mengenai wilayah kerja PPAT.

“Saya kira sudah lebih baik ya, ada kepastian wilayah kerja, saya kira lebih mengarah kepada UU JN,” kata Winanto kepada hukumonline, Selasa (12/7).

Ia tak menampik, salah satu hal yang menjadi perdebatan panjang adalah mengenai lebih rendahnya usia untuk menjabat sebagai PPAT. Dalam PP sebelumnya, usia 30 tahun baru bisa menjabat PPAT, namun di PP yang baru cukup berusia 22 tahun. Menurutnya, permasalahan usia ini menyusul dari rencana pengelompokkan usia dalam Peraturan Menteri Agararia dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

“Sekarang minimal 22 tahun, kan tidak mungkin harus melalui notaris dulu, notaris saja kan MKN, saya kira karena ada peraturan menteri susulan itu kan PP,” ujarnya.

Pandangan lain diutarakan notaris dan PPAT, Irma Devita. Dikutip dari irmadevita.com, ia menilai bahwa hal yang paling krusial dari PP baru itu terkait dengan perubahan wilayah kerja PPAT. Menurutnya, persoalan ini sudah hangat diperbincangkan dan dan didebatkan profesi PPAT sejak tahun 2015.

“Kabarnya awal tahun 2016 akan diberlakukan namun baru pada akhir juni 2016 baru diundangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2016 tersebut,” tulis Irma.

Ia tak menampik bahwa substansi ini memicu pro dan kontra dari PPAT. Namun, Irma menegaskan, persoalan ini bisa dilihat sebagai berita baik atau buruk bagi profesi PPAT tergantung dari cara pandangnya. Jika dilihat dari sudut pandang possibility dan meluasnya ruang kerja PPAT, maka untuk PPAT dalam suatu wilayah kerja tertentu sudah tidak usah lagi harus “lintas jabatan”.

Artinya, lanjut Irma, secara sempit merupakan rezeki bagi para PPAT dengan semakin luasnya wilayah jabatannya tersebut. Namun di sisi lain, bagi PPAT yang masih “junior” hal ini dianggap semakin mempersempit kesempatan untuk mendapatkan rezeki dengan semakin luasnya ruang gerak PPAT “senior” yang sudah memiliki banyak relasi.

Irma mengatakan, jika dilihat dari tanggal ditandatanganinya PP, yakni 26 Juni 2016, maka PPAT sudah bisa membuat akta untuk tanah-tanah di dalam satu provinsi. Namun, hal ini baru akan lebih jelas setelah diterbitkannya petunjuk teknis (juknis) maupun petunjuk pelaksanaan (juklak)-nya.

“Jangan buru-buru ‘melebarkan sayap’, kita nikmati dulu suasana lebaran di kota anda masing-masing sambil menunggu juklak dan juknisnya,” tutup Irma.

Notaris Senior/PPAT Hapendi Harahap mengatakan secara umum PP ini merupakan upaya pemerintah untuk mempermudah masyarakat mendapat pelayanan dari PPAT. Namun, pandangan lain khususnya yang berkaitan dengan minimal usia 22 tahun, ia menilai sebaliknya.

“Rasio yang dipakai 22 tahun ini kelihatannya kita belum mendapat kejelasan, secara profesional usia 22 tahun itu belum matang, karena tidak berbanding lurus kecerdasan seseorang menyelesaikan studinya dengan pengalaman praktik di lapangan,” kata Hapendi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar IPPAT ini.

Ia mengatakan, selain kecerdasan, jauh lebih diutamakan adalah integritas dan kematangan berpikir. Hal ini yang dinilai Hapendi luput dari pertimbangan Kementerian ATR/BPN dalam menetapkan usia minimal 22 tahun. Menurutnya, dalam penjelasan pasal pun tidak ditemukan kejelasan pertimbangan usia 22 tahun diberikan.

Menurut Hapendi, di beberapa negara yang memiliki pejabat umum seperti PPAT di Indonesia, jauh lebih sulit dan berusia lebih tua. Misalnya di Belanda, notaris harus magang beberapa tahun dulu setelah lulus dari sarjana hukum dan kuliah spesialis notariat. Menurutnya, kematangan cara berpikir akan berdampak kepada profesi PPAT itu sendiri.

“Usia ini terutama bagi kita yang senior bukan memikirkan materi, tapi bagaimana profesi ini tahan lama di bumi Indonesia tidak tergerus dari globalisasi, kita yang peduli kepada harkat profesi ini dan tetap dicintai masyarakat dan dicintai pemerintah karena bisa menciptakan kepastian hukum dan keadilan. Ini kita agak sedikit risau dengan pengangkatan masih terlalu muda ini,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait