Problematika Pengangkatan pensiunan Penegak Hukum Tanpa Proses Magang
Kolom

Problematika Pengangkatan pensiunan Penegak Hukum Tanpa Proses Magang

Pengesampingan ketentuan magang bagi calon advokat purnawirawan penegak hukum, tidak akan menjadi masalah selama advokat purnawirawan mengkhususkan diri untuk menangani perkara sesuai dengan keahlian profesinya semasa bertugas menjadi penegak hukum.

Bacaan 4 Menit

 

Sejalan dengan wacana pengesampingan oleh salah satu organisasi mengenai ketentuan magang dua tahun khusus bagi para calon advokat purnawirawan penegak hukum menimbulkan kekhawatiran yang cukup beralasan bagi sejumlah orang yakni berpotensi menurunkan kualitas profesi advokat itu sendiri, karena tugas mulia seorang advokat adalah memberikan pembelaan terhadap kepentingan hukum klien yang tidak terbatas pada hukum pidana, melainkan juga ranah perdata, TUN dan Tenaga Kerja.

 

Seperti yang kita ketahui bersama, tugas pokok penegak hukum polisi dan jaksa sangat spesifik yang perannya di dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dipisah ke dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Berbeda dengan tugas pokok polisi dan jaksa, maka hakim memiliki tugas pokok yang jauh lebih mulia yaitu sebagai perwakilan dari Tuhan untuk mengadili suatu perkara dengan seadil-adilnya.

 

Dalam perkara pidana, hakim bersifat aktif menggali kebenaran materiil, sedangkan dalam sengketa perdata mengali kebenaran formil dengan menjunjung tinggi asas audi et alteram partem (mendengarkan dua belah pihak yang berperkara) secara berimbang dan objektif.

 

Sementara advokat memiliki peran pendampingan terhadap kliennya dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk membela kepentingan hukum kliennya mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, persidangan bahkan sampai perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dengan kata lain peran advokat seolah-olah berkesinambungan sepanjang klien memberikan kepercayaan kepada seorang advokat untuk menangani perkaranya. 

 

Semua penegak hukum memiliki peran dan tugas pokok masing-masing yang berbeda satu sama lain. Namun beban moral yang disandang seorang advokat seolah-olah melekat terhitung sejak lantik dan diangkat sumpah, karena sebagian masyarakat awam beranggapan advokat mengerti dan paham hukum dengan area praktik hukum yang cenderung lebih luas dibandingkan penegak hukum lainnya. Sehingga, advokat tidak dapat memilih-milih klien berikut dengan sejumlah permasalahan hukum yang membelit si calon klien.

 

Meski secara kode etik seorang advokat diperkenankan untuk menolak memberikan nasihat dan bantuan hukum dengan pertimbangan tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nurani, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 huruf (a) Kode Etik Advokat Indonesia, tertanggal 23 Mei 2002, yang menyatakan :

  1. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
Tags:

Berita Terkait