Prof. Ramly dan Equality Before the Law
Obituary:

Prof. Ramly dan Equality Before the Law

Pernah mengusulkan penyederhaan partai melalui persyaratan yang ketat.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Prof. Ramly dan <i>Equality Before the Law</i>
Hukumonline

Jasad Ramly Hutabarat sudah bersemayam di TPU Kedaung, Tangerang Selatan, Banten. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia (Balitbang HAM) itu meninggal di Tokyo saat mendampingi kunjungan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin. Jenazahnya diterbangkan dari Tokyo dan tiba di Indonesia pada Rabu (6/6) sore. Sehari kemudian jenazahnya dikebumikan.

Selain bekerja sebagai pejabat di Kementerian Hukum dan HAM, Ramly tercatat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tidak banyak ulasan dan catatan mengenai perjalanan karier pria kelahiran Desa Pahieme Kecamatan Sorkam, Tapanuli Tengah, itu baik sebagai pejabat maupun akademisi. Namun buah pemikirannya bersemai di banyak media.

Ada dua buah pikir Ramly semasa hidup yang patut dikemukakan di antara banyak karya tulisannya. Pertama, usulannya tentang penyederhaan partai politik di Indonesia. Dalam pidato pengukuhan Guru Besar 1 Agustus 2007, Ramly mengatakan untuk membangun hak-hak politik yang ideal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sistim multipartai harus disederhanakan. Pidato Ramly seolah menjadi ‘warning’ bagi pembuat Undang-Undang yang membuka lebar-lebar pendirian partai politik. Siapapun bisa mendirikan partai politik.

Penyederhanaan partai merupakan solusi. Cuma, penyederhanaan harus dilakukan secara demokratis dan transparan. ‘Pisau’ yang bisa digunakan adalah memperketat persyaratan dan verifikasi partai politik. Dengan cara itu, hak-hak konstitusional warga tetap terlindungi, dan penyederhanaan dilakukan tidak secara otoriter. Dalam pidato itu, Ramly mengaitkan partai politik dengan HAM.

Kedua, Ramly telah mewariskan sebuah buku ‘sederhana’ tetapi sangat berguna: ‘Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia’. Pada 1985 silam, jauh sebelum amandemen konstitusi, Ramly mencoba menguraikan makna equality before the law yang sering disebut-sebut dalam jargon politik dan hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.

Makna equality before the law ditemukan di hampir semua konstitusi negara. Inilah norma yang melindungi hak asasi warga negara. “Jika dalam konstitusi hal ini dicantumkan, maka konsekuensi logisnya penguasa dan penegak hukum haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas ini dalam kehidupan bernegara,” tulis Ramly dalam bukunya.

Teori equality before the law menurut UUD 1945, tulis Ramly, adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Ditinjau dari hukum tata negara, maka setiap instansi pemerintah, terutama aparat penegak hukum, terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik.

Namun menegakkan equality before the law bukan tanpa hambatan. Bisa berupa hambatan yuridis dan politis, atau hambatan sosiologis dan psikologis. Seraya memberi sejumlah contoh, Ramly menyatakan telah terjadi penyimpangan atau deviasi yuridis konsep equality before the law pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Itulah sekelumit buah pikir yang diwariskan almarhum Prof. Ramly Hutabarat. Setidaknya kita dapat membaca kajian spesifiknya tentang makna equality before the law baik dalam konsep hukum Barat, hukum Islam, dan UUD 1945. Buku ini, seperti ditulis Harmaily Ibrahim, lektor kepala hukum tata negara Fakultas Hukum UI, dalam kata pengantar, “adalah langkah awal dari penulis dalam rangka menyelidiki hak-hak asasi manusia.

Dan saat menangani isu-isu hak asasi manusia pula Prof. Ramly Hutabarat menjejakkan langkah terakhir bersama isteri dan keempat anaknya. Selamat jalan Prof…

Tags: