Prof Yusril Ingatkan Pemerintah Antisipasi Terjadinya Hukum Tata Negara Darurat
Terbaru

Prof Yusril Ingatkan Pemerintah Antisipasi Terjadinya Hukum Tata Negara Darurat

Soal kedaruratan, UUD NRI Tahun 1945 saat ini hanya mengatur kevakuman norma hukum melalui Perppu, belum mengatur terjadinya hukum tata negara darurat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Hukumonline.com

Prof Yusril Ihza Mahendra saat memberikan kuliah umum di FHUI.

Hal tersebut ada kebutuhan politik ketatanegaraan tertentu, tapi terbentur dengan konstitusi. Konstitusi jelas mengatur Indonesia menganut sistem Presidensil, tapi dalam perjalanan sejarah Indonesia pernah menganut sistem parlementer. Kendati tidak diatur dalam konstitusi, tapi perubahan sistem dari presidensil ke parlementer merupakan bentuk konvensi konstitusional.

“UUD 1945 tidak berubah, tapi praktiknya berbeda dengan isinya dan itu diterima. Unsur diterima itu penting, kalau tidak diterima maka menjadi masalah,” ujarnya.

Mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di era pemerintahan Susilo Bambang Yushoyono (SBY) itu menyebutkan PDRI terbentuk 22 Desember 1948 dengan pimpinan tertingginya Syarifuddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI. Ketika PDRI dideklarasikan pucuk pimpinannya tidak disebut sebagai Presiden atau Perdana Menteri, tapi ketua. Menurut Yusril, posisi Ketua PDRI sama seperti Perdana Menteri, bukan Presiden.

Berdirinya PDRI meyakinkan masyarakat internasional bahwa Republik Indonesia masih ada, tidak lenyap seperti klaim Belanda. Yusril mencatat PDRI berdiri selama 8 bulan. Selama PDRI berdiri pemerintah Indonesia melakukan beberapa perundingan dengan Belanda seperti perundingan Roem-Royen. Setelah PDRI berakhir pada Juli 1949, Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandat yang telah diberikan kepada Presiden Sukarno.

Pengalaman sejarah itu menurut mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) di era pemerintah Megawati Soekarnoputri itu, penting bagi pemerintah untuk mengantisipasi ketika terjadi hukum tata negara darurat. Misalnya, konstitusi setelah amandemen memandatkan penyelenggaraan pemilu 5 tahun sekali.

"Tapi, bagaimana jika ada kondisi darurat yang menyebabkan pemilu tidak dapat digelar sesuai mandat tersebut? Hal itu termasuk krisis konstitusional dimana secara faktual terjadi krisis ketatanegaraan, tapi konstitusi tidak memberikan jalan keluar atas persoalan tersebut." 

Tags:

Berita Terkait