Proklamasi
Tajuk

Proklamasi

Seorang pemuda berumur 21 tahun, 17 Agustus 1945, menanti dengan gelisah bahwa akhirnya dwitunggal Soekarno-Hatta akan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, lepas dari cengkaman Jepang dan Belanda yang datang kembali ke bekas tanah jajahannya dengan kedok sekutu.

Red
Bacaan 2 Menit

 

Karena perselisihan itu, si pemuda terpaksa mengundurkan diri dari AURI, dan kembali ke bidang politik, bergabung dengan rekan-rekannya. Karena Yogyakarta menajdi semakin tidak aman, pemuda tersebut menyingkir ke Malang, menjadi guru di suatu Sekolah Menengah Pertanian dan memimpin serta melatih para Tentara Pelajar di sana sampai tahun 1947. Tahun 1948, mereka dengan puteri pertama, kembali ke Yogyakarta, dimana si isteri kemudian bekerja di suatu apotik Belanda, dengan tugas mensuplai obat-obatan kepada para pejuang kemerdekaan di medan perang, sementara suami muda itu keluar masuk penjara Belanda bergantian dengan teman-temannya, Adam Malik, Chaerul Saleh, Soedjono dan lain-lain karena gerakan-gerakan politik mereka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Rumah mereka di Roji Kecil menjadi markas para pemuda pro kemerdekaan, dan hampir semua yang dipunyai oleh ibu muda itu diserahkan untuk kepentingan perjuangan para pemuda.

 

Teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno, sementara itu dalam bahaya karena akan dirampas oleh tentara Belanda dan antek-antek NICA, sehingga tidak ada dokumen lagi yang bisa dijadikan bukti bahwa Indonesia sudah merdeka. Teman-teman si pemuda di Jakarta merasa bahwa yang paling aman adalah dengan memberikannya kepada si pemuda yang bergerak dengan cekatan di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Seringkali teks asli tersebut disimpan oleh sang isteri, dan seringkali pula karena sang isteri juga menjadi target Belanda, dititipkan ke ayah si pemuda yang merupakan petinggi pemerintah baru RI, dan salah satu penasehat militer Menteri Pertahanan RI. Pada masa-masa pengungsian karena Yogya diduduki Belanda, teks asli tersebut terpaksa disimpan di balik sol sepatu sang ayah, sehingga memberi bekas lipatan yang jelas sekali sampai sekarang.

 

Bertahun kemudian, setelah republik ini semakin dewasa dan ancaman terhadap eksistensi teks proklamasi dianggap mereda, teks proklamasi dikembalikan oleh pemuda tersebut kepada pemerintah RI, dan kini menjadi benda bersejarah yang menjadi bukti perjuangan bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, dan dibacakan salinannya di setiap upacara kemerdekaan RI di Istana Merdeka.

 

Pemuda itu tidak pernah merasa berjasa, demikian pula isterinya. Mereka adalah pahlawan tidak dikenal, tidak pernah menuntut atau menerima tanda jasa, dan bahkan diperlakukan dengan sangat tidak pantas oleh rezim-rezim penguasa hanya karena keyakinan politiknya. Bahkan mereka tidak pernah menceritakannya kepada anak-anaknya semua fakta sejarah itu. Anak-anaknya mendapatkan cerita itu dari sang kakek, paman-paman, dan kelak dari ibu  mereka setelah memaksa sang ibu bahwa itu penting untuk sejarah keluarga, dan menjadi kenangan mereka sekeluarga pada detik-detik mengenang proklamasi seperti saat ini.

 

Dari salah satu anak mereka.

Jakarta, 17 Agustus 2009

ats

Tags: