Putusan Judicial Review, Keadilan Melawan Resiko Macetnya Pemerintahan
Pilkada Banten

Putusan Judicial Review, Keadilan Melawan Resiko Macetnya Pemerintahan

Pasangan incumbent harus mundur tidak hanya Kepala/Wakil Kepala Daerah, pejabat eksekutif lain bahkan DPR harus mundur. Jika konsisten, maka Presiden kalau mau maju juga harus mundur. Lantas apakah jabatan Presiden bisa di-Plt-kan?

Aru
Bacaan 2 Menit

 

Dalam berkas putusan yang dimiliki hukumonline, majelis dalam pertimbangan hukumnya menyatakan Pasal 40 ayat (1) PP Pilkada tidak adil diantara sesama calon, yaitu disatu pihak yang menjadi calon di daerah sendiri dan di lain pihak bilamana yang bersangkutan menjadi calon di daerah lain. Yang mana tidak ada pengalaman yang menunjukkan calon incumbent mencalonkan di daerah lain. Tidak ada itu, misalnya Gubernur Jawa Barat mencalonkan sebagai Gubernur DKI, ujar Paulus kepada hukumonline, Jumat (1/12).

 

Alasan lain, tambah Paulus, calon incumbent ini bisa menggunakan fasilitas daerah sedangkan pesaing yang lainnya masih menunggu masa kampanye. Karenanya, incumbent jika ingin mengikuti Pilkada harus mundur dari jabatannya. Hal ini menurut Paulus juga berlaku bagi pejabat lain. Tidak hanya terbatas Kepala atau Wakil Kepala Daerah. Pejabat daerah seperti Sekwilda atau bahkan anggota DPR pun menurut Paulus sesuai dengan semangat Pasal 56 UU Pemda harus mundur.

 

Agak berbeda dengan Paulus, Direktur Eksekutif Cetro Hadar Navis Gumay berpendapat aturan yang mengharuskan incumbent mundur memunculkan resiko macetnya Pemerintahan. Resiko macet, karena jabatan yang ditinggalkan akan diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) paling tidak selama enam bulan. Kalau pemerintahan  daerah belum seberapa, Bayangkan kalau kita konsisten dan Presiden di Plt-kan. Ini harus dipertimbangkan, tukas Hadar.

 

Harusnya dari tinjauan demokratis, incumbent menurut Hadar diperbolehkan mengikuti Pilkada tanpa meletakkan jabatannya. Dengan syarat harus dengan batasan-batasan tertentu. Meski demikian, Hadar bisa memaklumi logika dari putusan MA tersebut. Kalau ternyata praktik di negeri ini, etika incumbent dan aturan pembatasan tidak bisa ditegakkan, akhirnya tidak ada pilihan. Memang harus mundur, tutur Hadar.

 

Upaya Hukum

MA telah menjatuhkan putusan atas permohonan uji materiil. Pertanyaannya, bagaimana kelanjutan Pilkada Banten dimana pasangan Atut-Masduki telah unggul dari calon-calon yang lain. Akankah ada upaya hukum yang dilakukan oleh pasangan calon yang lain?

 

Soal ini, Martinus yang dihubungi secara terpisah menyatakan pihaknya telah memiliki tiga opsi langkah hukum yang akan diambil pasca putusan MA. Pertama, akan menggugat secara perdata kepada pihak Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Banten. Alasannya, KPUD tidak mengindahkan keberatan yang disampaikan, yakni meminta penundaan pencoblosan. Padahal, KPU menurut Martinus telah mengetahui putusan sebelum pencoblosan.

 

Mengapa mereka terus melaksanakan pencoblosan. Padahal, telah terbit putusan sebelum pencoblosan dilaksanakan, ucap Martinus. Kedua, tim penasihat hukum akan menggugat Surat Keputusan yang dikeluarkan KPUD jika berani menetapkan pasangan Atut-Masduki sebagai pemenang dalam Pilkada. Ketiga, akan melakukan advokasi terhadap masyarakat yang dirugikan dalam pelaksanaan Pilkada. Patut ditunggu apakah Pilkada Banten akan menambah deret sengketa Pilkada yang problematik seperti Lampung dan Depok.

 

Tags: