Putusan MK Dinilai Tak Sesuai Filosofi Konstitusi
Berita

Putusan MK Dinilai Tak Sesuai Filosofi Konstitusi

Demokrasi mengutamakan efektivitas, bukan efisiensi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Putusan MK Dinilai Tak Sesuai Filosofi Konstitusi
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan penyelenggaraan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 hanya satu putaran. Dengan demikian syarat sebaran 20 persen perolehan suara di seluruh provinsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 (UU Pilpres) tidak berlaku. Putusan ini dianggap sebagai jalan keluar yang lebih efisien jika Pilpres hanya diikuti dua pasang calon.

Putusan MK itu dikritik Refly Harun. Menurut pengamat hukum tata negara ini MK terlalu menyederhanakan persoalan dan tidak paham filosofi konstitusi. Konstitusi mengamanatkan Pilpres dua putaran agar Presiden terpilih tidak hanya dilegitimasi lewat perolehan suara, tapi juga sebarannya. Sehingga Presiden terpilih tidak hanya didukung oleh penduduk di wilayah tertentu, namun semua dearah.

Refly juga menilai putusan MK itu seolah “lompat” karena konstitusi menyatakan kalau tidak memenuhi perolehan suara 50 persen plus satu dan sebaran suara langsung digelar Pemilu putaran kedua. Namun, lewat putusan itu MK seakan meniadakan putaran kedua karena langsung mengamanatkan menggelar Pemilu satu putaran. “Filosofi itu harus tetap dipegang, prinsip dua putaran harus dipegang. Itu kesepakatan dalam konstitusi,” katanya kepada wartawan lewat telepon, Kamis (03/7).

Refly menjelaskan berbagai negara menggunakan beraneka sistem Pemilu. Ada yang menggunakan mekanisme simple majority dan absolute majority. Sedangkan di Indonesia menggunakan absolute majority dan sebaran suara. Tapi putusan MK meniadakannya dengan alasan jika hanya ada dua pasangan calon maka satu putaran.

Dengan putusan MK itu Refly memprediksi jika pada Pilpres ke depan akan diikuti oleh dua pasangan calon yang berasal dari wilayah berbeda. Satu pasangan berasal dari Jawa dan pasangan calon lainnya luar Jawa. Maka kedua pasangan kandidat itu akan berebut suara pemilih di daerah yang padat penduduk saja untuk mengejar 50 persen plus satu.

Refly berpendapat pihak yang mengkhawatirkan jika Pilpres digelar dua putaran sangat berlebihan. Sebab walaupun Pilpres dilaksanakan dua putaran ia yakin kedua pasangan calon akan berebut suara di kantong suara yang sama. Bahkan, pasangan calon yang nanti kalah sekalipun perolehan suaranya bakal tersebar di seluruh wilayah. Oleh karena itu Refly menekankan agar tidak perlu khawatir akan anggaran negara akan membengkak atau tidak jika Pilpres dilaksanakan dua putaran. Yang penting filosofi dua putaran dalam konstitusi harus dijaga.

Walau begitu Refly menganjurkan agar putusan MK itu dilaksanakan. Sekalipun putusan MK itu dirasa keliru dalam memahami filosofi konstitusi karena terlalu memikirkan hal teknis. Melihat kondisi sekarang, Refly menyebut tidak relevan bicara tentang penghematan anggaran dalam pelaksanaan Pilpres. Sebab, demokrasi itu menekankan pada efektivitas, bukan efisiensi. “Kalau bicara efisiensi untuk apa Presiden dipilih langsung? Dipilih saja lewat DPR  seperti dulu,” urainya.

Terkait potensi konflik yang muncul jika Pilpres 2014 digelar satu putaran, peneliti Imparsial, Al Araf, berharap agar proses perubahan politik yang damai lewat Pilpres tidak dicederai oleh konflik. Apapun putusan MK menurutnya harus dilaksanakan. “Itu memang tugas MK untuk mengindari multitafsir (Pelaksanaan Pilpres satu atau dua putaran,-red),” paparnya.

Bagi Al, konflik bakal muncul jika potensi konflik tidak diantisipasi dan ditindak aparat penegak hukum. Seperti kampanye hitam. Penyelenggara Pemilu juga harus bertindak profesional guna meminimalisir kecurangan. “Seperti kasus Obor Rakyat itu harus ditindak cepat,” ujarnya.

Kemudian, bentuk kecurangan seperti politik uang, operasi intelijen dan independensi penyelenggara Pemilu juga menjadi soal yang dapat menimbulkan konflik. Paling penting, Presiden sebagai kepala Negara harus hadir untuk mencegah potensi kecurangan itu. Sayangnya, Presiden SBY melakukan pembiaran. Oleh karenanya jika terjadi konflik Presiden SBY adalah pihak yang paling bertanggungjawab.

Sementara Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, berpendapat putusan MK itu memberi kepastian hukum bagi pelaksanaan Pilpres 2014. Terutama soal tafsir pasal 159 ayat (1) UU Pilpres terkait pemenang apakah cukup berdasarkan suara terbanyak atau juga harus penuhi syarat sebaran. Lewat putusan itu MK menyatakan untuk peserta Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon maka yang terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak.

“Positifnya adalah putusan ini mengakhiri polemik atas perbedaan tafsir terhadap pasal 159 ayat (1) UU 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon,” tandas Titi.

Titi mengatakan KPU harus membuat penyesuaian dalam peraturan mereka tentang penetapan calon terpilih. Sebab dalam Peraturan KPU No. 21 Tahun 2014 masih menetapkan syarat sebaran dalam menentukan calon terpilih.
Tags:

Berita Terkait