RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umroh Segera Diparipurnakan
Berita

RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umroh Segera Diparipurnakan

Untuk disetujui menjadi inisiatif DPR dan dilanjutkan pembahasan dengan pemerintah.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umroh Segera Diparipurnakan
Hukumonline
Rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) harmonisasi, sinkronisasi dan pembulatan substansi RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umroh, menyetujui RUU tersebut diparipurnakan. Persetujuan itu diambil setelah sembilan fraksi dalam pandangan mini fraksi menyetujui RUU tersebut.

“Kita setujui untuk diteruskan dalam pembahasan selanjutnya dan masuk dalam paripurna tanggal 7 Juli,” ujar Ketua Baleg Ignatius Mulyono di Gedung DPR, Rabu (2/7).

Ignatius mengatakan, persetujuan diberikan setelah fraksi-fraksi memberikan beberapa catatan. Sebanyak 20 catatan dari 7 fraksi dijadikan rujukan dalam pembahasan antara Komisi VIII dengan pihak pemerintah nantinya. RUU tersebut merupakan usul dari Komisi VIII.

Ignatius berharap pembahasan RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umroh dapat dirampungkan sebelum masa akhir purnabakti anggota dewan periode 2009-2014. Dengan begitu, RUU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umroh setidaknya sudah dapat disahkan menjadi UU.

“Oleh karena itu butuh kerja keras. Karena ada satu RUU yang harus dikejar Komisi VIII yaitu RUU Perlindungan Anak,” katanya.

Sejumlah catatan diberikan berbagai Fraksi. Pandangan mini Fraksi PKS menyatakan, penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji dan umroh terlampau banyak catatan. Setidaknya pemerintah acapkali mendapat kritik dari jamaah haji dan umroh. Oleh sebab itu, diperlukan pembentukan regulasi terkait dengan pengelolaan ibadah haji dan umroh.

Berkaitan dengan pengelolaan ibadah haji dan umroh, perlu adanya lembaga yang mengelola ibadah haji dan umroh. Menurut pandangan mini Fraksi PKS yang dibacakan Bukhori, lembaga tersebut harus efektif, transparan dan akuntabel. Itu sebabnya, DPR dan pemerintah harus serius dalam pembahasan terkait lembaga tersebut.

Selain itu, permasalahan perndaftaran acapkali menuai kritik. Begitu pula persoalan pengelolaan keuangan calon jamaah haji. “Maka sepanjang perspektif uang tabungan haji dipandang setoran, maka dalam RUU ini perlu memberikan batasan. Dan setoran haji harus dikelola transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Kendati tabungan haji menganut sistem syariah, mesti disesuaikan dengan kemampuan. Menurutnya, definisi kemampuan mulai dari soal waktu, keamanan, dan dapat melaksanakan haji dengan baik. Menurutnya, FPKS menekankan pada pengelolaan keuangan haji harus dilakukan transparan, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada jamaah.

“RUU ini harus diharmonisasi dengan RUU Pengelolaan Keuangan Haji. Dengan mengucapkan Basmallah, FPKS dapat menyetujui RUU ini untuk dibahas lebih lanjut dengan pemerintah,” ujar anggota Komisi III itu.

F-PAN dalam pandangan fraksi mini yang dibacakan Taslim mengatakan, UU No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai dengan kondisi faktual masyarakat. Perlunya revisi terhadap UU tersebut menjadi kebutuhan yang mendesak. Pasalnya, penyelenggaraan ibadah haji  kerap menuai permasalahan tiap tahunnya. Mulai permasalahan pemondokan, katering, hingga transportasi. Termasuk pula pengelolaan keuangan haji.

Menurutnya, dalam RUU tersebut nantinya harus mengatur perencanaan penyelenggaraan ibadah haji, pelaksanaan, hingga evaluasi pasca penyelenggaraan. Tujuan RUU tersebut prinsipnya memberikan perlindungan terhadap jamaah haji dan umroh. Dengan kata lain memberikan nilai manfaat dan kepastian hukum bagi jamaah haji dan umroh.

Pembentukan Badan Pengelola Ibadah Haji (BIPH) menjadi lembaga yang bertanggungjawab dalam pengelolaan haji dan umroh. Menurutnya, lembaga tersebut bertanggungjawab kepada presiden melalui Kementerian Agama.

Ia berpendapat perlunya keseriusan membuat regulasi tersebut seputar keberadaan lembaga pengelolaan haji. Pasalnya selain mengelola ibadah haji dan umroh, juga mengelola aset, membentuk BPIH ditingkat provinsi/kabupaten kota.

“Struktur kewenangannya harus jelas. Karena biaya haji cukup besar dan juga dewan pengawas. Untuk itu kehadiran majelis amanat pengawas penting agar transparan,” ujarnya.

Wakil ketua Komisi VIII Mahrus Munir mengamini pandangan seluruh fraksi. Keputusan rapat pleno Baleg menjadi dorongan bagi komisi VIII agar segera melakukan pembahasan RUU tersebut. Termasuk sejumlah catatan menjadi rujukan pada saat pembahasan dengan pemerintah.

“Setelah kami mencermati atas RUU ini, kami atas nama pengusul menyatakan setuju dan dapat disahkan dalam sidang paripurna menjadi inistiaf DPR. Semoga jerih payah kita dalam rangka penyelenggaraan haji menjadi semakin baik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait